Penerapan Vaksin Sinovac di Indonesia?
Kemudian Jika berbicara perihal efektifitas sinovac ini, sempat di ungkapkan oleh Ahli Biostatistik University of Florida, Natile Dean, biasanya vaksin efektif bekerja saat mencegah penyakit paling parah. Seperti uji coba di Brazil sekitar 78% Sinovac melindungi pasien penyakit sedang-parah, bahkan juga terkadang melindungi pasien penyakit ringan. Tetapi jika ini masuk dalam kategori penyakit “sangat ringan” ini tidak perlu perhatian dari medis, lalu tingkat keefektifan vaksin pun menurun menjadi 50%. Lanjutnya ketika vaksin mendekati angka 50-60 %, artinya tingkat efektif “Ketidakpastian” itu jauh lebih besar.
Indonesia menjadi negara pertama di luar China yang memberikan persetujuan penggunaan darurat untuk vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh pembuat obat China Sinovac Biotech Ltd., meskipun temuan itu menempatkan keefektifan kandidat di antara yang terendah untuk vaksin virus corona baru.
Badan makanan dan obat-obatan Indonesia mengatakan bahwa uji klinis tahap akhir di kota besar Bandung menunjukkan vaksin Sinovac efektif 65,3%. Kalaupun mengacu pada angka yang di sebut Dean sebelumnya dari skala Efektifitas 50-60%., secara rasio uji klinis di bandung hanya berjarak 5% dari batas yang “Ketidakpastian” itu.
Sejalan dengan standar vaksin dari WHO di angka 50%, Pada Vaksin Sinovac di Indonesia mencapai efikasi 65,3 %, angka ini masih di atas brazil yang di efikasi 50,4%, dan berada di bawah turki yang di angka 91,25 %. Dengan tingkat keamanan vaksin sinovac Ringan-sedang seperti nyeri, iritasi, pembengkakan, nyeri otot, letih demam dan hingga gejala beratnya 0,01-1 % sakit kepala, gangguan kulit, lalu diare. Menurut Ketua ITAGI (Indonesia Technical Advisory Group on Immunization) Prof. Dr. Sri Rezeki S Hadinegoro, “pemberian Vaksin covid 19 tidak langsung membuat orang langsung jadi kebal sekaligus masih ada resiko terinfeksi. Namun, memang dampaknya akan lebih ringan di banding yang tidak vaksin.”.
Salah satu nya juga sebagaimana di ungkap Oleh Sulfikar Amir (Associate Professor dan pakar Sosiologi Bencana di Nanyang Tecnological University), Perihal MicroSpreader., dimana Orang di sekeliling kita ataupun orang terdekat kerabat kita sendiri. Mempunyai resiko Menyebarkan Virus Covid 19 secara relasi sosial dan ini cukup sulit untuk di lacak.
Jadi, Para Pesohor Indonesia sebelumnya bisa di katakan tetap melanggar Protokol Kesehatan, dan bukan berimajiner selayaknya I.ron Man yang kebal sesudah di vaksin. Sebab MicroSpreader masih mendorong penyebaran sekalipun itu kerabat terdekat.
Dari sini terlihat Seakan-akan Setelah Suntik Sinovac(3S), bisa dengan bebas lepasnya menjadi kebal seperti rasanya menjadi I’ron Man, sekaligus berdempetan selfie ria tanpa masker di atas lantai free party.. Pemerintah juga lebih terkesan menjadikan ajang vaksin sebagai unjuk siapa paling berani, bukan sebaliknya menerangkan efikasi, imunogenisitas dan efektivitas vaksin ini yang akan terjadi pada saat pasca menyuntikan ke tubuh manusia, guna langkah sosialisasi kepada khalayak ramai.
Secara Implisit pemerintah telah gagal terhadap pengendalian wabah 3T (Testing, Tracing Treatment), Seperti misal Karantina wilayah hanya sekedar buah bibir belaka tanpa penegasan secara pembatasan ketat Ventilasi-Durasi-Jarak(VDJ), Penerbangan Maskapai masih tergolong massif, para pelancong wisatawan masih tersebar di daerah-daerah, Surplus penderita pasien aktif sejak awal tahun ini hingga tanggal 17 januari 2021 angka melonjak drastis di angka 11.287 positiv covid 19, secara keseluruhan angka itu tembus 907.929 kasus dan hingga kini masih terus menambah.
Belum lagi krisis penunjang alat kesehatan dan tenaga kesehatan, angka testing masih saja tak menentu. Apalagi aksi presiden yang cukup heroik mengikhlaskan tangannya untuk di suntik pertama kali, semacam bisa melunasi hutang-hutang nyawa yang telah pergi semenjak febuari 2020 lalu.
Begitu pula ancaman pidana dan denda datang pada masyarakat yang enggan melakukan penyuntikan vaksin ke tubuh mereka bukan pada seharusnya itu menjadi hak warga untuk memilih dan kesukarelaan mereka masing-masing, bercermin pada apa yang telah di terapkan oleh pemerintah Kambodja kepada masyarakatnya, di lain hal rakyat di giring pada peraturan “meneror” di diri mereka masing-masing. Yang mana seharusnya pidana di berlakukan pada adanya pungli, efek samping bahaya, salah sasaran, vaksin gagal maupun lambat datang.