Merenung, muhasabah, instropeksi diri, itulah yang seharusnya kita lakukan setiapĀ saat. Kalau perlu kita sholat taubat, dengan harapan dosa-dosa pada tahun-tahun sebelumnya diampuni oleh Allah swt. Lantas, kita di beri petunjuk oleh-Nya, syukur-syukur kita diberi hidayah sehingga kita merasa benar-benar siap menatap masa depan. Alangkah indahnya jikalau hal itu terjadi pada setiap muslim disekitar kita. Alangkah sejuknya jika hal itu terjadi pada diri kita, keluarga kita dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Kita harus sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Umat Nabi Muhammad adalah umat yang diberikan usia paling pendek oleh Allah Swt. Berbeda dengan Nabi Nuh, yang diberikan usia 950 tahun (QS. Al Ankabut: 14). Kalau Nabi Muhammad Saw, saja usianya 63 tahun, maka jika diantara kita ada yang berusia lebih dari itu maka orang tersebut telah mendapatkan bonus usia dari Tuhan. Dengan demikian kita tidak boleh menyia-nyiakan usia kita yang semakin hari-semakin berkurang.
Pesan Rasulullah kepada umatnya, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan mati besuk".
Pesan tersebut mengisyaratkan bahwa kita sebagai muslim wajib hukumnya untuk bekerja keras. Mengapa wajib? Hadits tersebut menggunakan kata "bekerjalah", dalam Bahasa Arab mengggunakan kata "I'mal" yang terdiri dari fi'il amar, yang artinya perintah. Sebuah kalimat yang menggunakan kata perintah hampir pasti mengandung sesuatu yang harus dikerjakan, yakni wajib.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bermalas-malasan, namun sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita untuk rajin bekerja. Islam mengajarkan kepada kita untuk berkarya dan selalu berkarya. Dengan rajin bekerja maka kita bisa menghasilkan sesuatu yang kita inginkan. Akan tetapi pekerjaan yang bagaimana yang diajarkan oleh Islam? Sudah pasti pekerjaan yang dianjurkan dan memenuhi syarāi. Kita bekerja seakan-akan kita hidup selama-lamanya dan tidak akan pernah mati. Sehingga kita bisa bekerja secara maksimal, terencana dan yakin usaha kita akan tercapai.
Sesungguhnya manusia diciptakan di dunia ini tiada lain hanya untuk beribadah. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Berkata jujur, tidak suka memfitnah, selalu berkata baik, tidak suka mengumpat adalah ibadah lisan. Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah Ā berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Qs. Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari'at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari'atkan-Nya maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari'at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
Maka sesungguhnya ibadah yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri sebagai hamba Allah, yang setiap saat bersimpuh dihadapan yang maha Dzat yang maha segala-galanya. Bersimpuh agar diberikan rizki yang baik kepada keluarga kita, berharap akan nikmat yang berlimpah agar Ā diturunkan melalui kerja keras kita. Namun demikian kita harus tetap tawakkal ketika Allah benar-benar mengabulkan apa yang kita inginkan. Bukankah setiap rizki yang kita peroleh terdapat sebagian hak untuk fakir miskin?
Ada baiknya kalau kita simak dialog antara seorang Kiai dengan santrinya berikut ini. Suatu ketika sang kiai mengajarkan surat-surat pendek (Juz Amma) kepada santri. Namun setiap kali itu pula surat Al-Maun yang disampaikan kepada santrinya. Hari-hari berikutnya juga demikian, hanya surat Al-Maun saja yang beliau ajarkan kepada santrinya. Akhirnya ada seorang santri yang memberanikan diri untuk bertanya.