Mohon tunggu...
Imam Bagus
Imam Bagus Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Perempuan, Kekerasan, dan Terapi Traumatik

27 Maret 2019   21:32 Diperbarui: 27 Maret 2019   21:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: jateng.tribunnews.com

Assalamu'alaikum Wr Wb, salam sejahtera bagi kita semua.

Ketemu lagi nih sobat Nusantara, kesempatan kali ini saya ingin membahas seputar terapi terhadap traumatik dan hubungannya dengan empati, ada apa diantara mereka ya? Yuk mari simak pembahasan singkatnya.

Kekerasan terhadap perempuan di tahun 2018 berkisar di angka 349.000-an mengutip dari data di website www.komnasperempuan.go.id, angka yang cukup membuat saya bergidik. Bagaimana tidak bergidik, seorang perempuan yang dari rahimnya kita dilahirkan dan ia bersakit-sakit selama 9 bulan 10 hari mengandung kita, tapi kenapa ada yang sampai hati menyakitinya dalam bentuk kekerasan fisik. 

Dari kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) seperti itu khususnya KTI (Kekerasan Terhadap Istri) sudah pasti korbannya mengalami trauma yang hebat. Tugas seorang Konselor yang juga sebagai terapis traumatik lah yang menurut saya bisa mengatasi kondisi trauma akibat dari kekerasan seperti itu. 

Ada beberapa tahapan yang dilalui untuk memulihkan keadaan trauma kekerasan. Berikut mari simak penjelasan singkat dari langkah-langkahnya yang saya kutip dari jurnal Profetik Komunikasi Vol.10/No.01/April2017 "Komunikasi Terapeutik Dalam Konseling" UIN Sunan Kalijaga.

Pertama, konselor melakukan tahapan komunikasi terapeutik terhadap klien (korban KTI). Pada tahapan ini konselor melakukan semacam introspeksi diri untuk mendeteksi dirinya sendiri apakah sedang dalam keadaan hati galau, gundah gulana, dan keadaan fisik yang kurang stabil seperti lapar atau sudah dalam suasana hati yang baik dan keadaan fisik yang baik. 

Apabila sedang dalam kondisi hati yang gundah gulana dan kondisi fisik yang kurang stabil maka segera konselor tersebut bisa mengatasinya. Ini disebut tahap pra interaksi denga klien.

Kedua, konselor melakukan penggalian masalah yang dialami oleh klien dan menganalisa apakah kasusnya KTPBG (Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender) atau kasus yang non-KTPBG. Jika kasusnya non-KTPBG konselor bisa merujuk ke lembaga lain yang lebih berkompeten, dan jika kasusnya masuk KTPBG maka bisa dilanjutkan ke tahap konseling berikutnya.

Ketiga, tahap perkenalan atau orientasi antara konselor dengan klien. Perkenalan ini amat penting agar antara kedua pihak ini bisa connect atau nyambung saat proses konseling selanjutnya. Dalam perkenalan ini konselor memancing klien agar mau terbuka dengan cara si konselor juga harus bersikap terbukan kepada klien.

Keempat, yaitu tahap melakukan asesmen untuk menggali kebutuhan yang diperlukan klien (umumnya kebutuhan psikologis dan hukum) dalam kasus yang dialaminya. Dalam tahap ini diketahui bahwa banyak korban KTI yang bahkan masih menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa dirinya. 

Dalam pertemuan perdana ini konselor sangat wajib dituntut untuk menjadi penampung keluh kesah yang baik dalam mendengarkan semua yang diujarkan oleh klien sebagai bentuk pelampiasan agar kondisinya menjadi lebih rileks dan lebih jernih pikirannya.

Kelima, ini adalah tahap inti dari keseluruhan proses konseling yaitu tahap kerja. Tahap kerja ini berkaitan denga tujuan konseling yang ingin dicapai melalui rencana tindakan konseling yang akan dilakukan. 

Pada tahap ini konselor melakukan active listening dengan klien untuk membantu klien dalam mendefinisikan masalah yang dihadapi, cara mengatasinya, serta mengevaluasi cara atau alternatif pemecahan masalah yang sudah dipilih. Dalam tahap ini pula sesi dimana konselor menggali lebih dalam masalah yang dialami klien melalui kemampuan active listening tadi. 

Dalam tahap ini konselor lebih mengetahui lagi bahwa sulit dicapainya sikap penerimaan oleh para korban KTI ini. Selanjutnya konselor melakukan serangkaian kegiatan konseling untuk segera menuntaskan masalah klien ini. Namun konseling ini tidak bisa selesai hanya dalam 1 atau 2 kali tatap muka, namun beberapa kali tatap muka konselor dengan klien.

Keenam, merupakan tahap akhir atau finishing kegiatan konseling terhadap klien korban KTI. Di tahap ini konselor bisa menanyakan pada klien apakah kegiatan konseling yang telah dilakukan bisa mengurangi trauma dan kecemasannya akan kejadian yang telah menimpanya. Tahap untuk mengakhiri ini disebut tahap terminasi. Terminasi ini bisa saja gagal apabila si konselor melakukannya secara tiba-tiba tanpa alur yang mulus.

Nah dari keenam tahapan tersebut apa hubungannya empati dengan komunikasi terapeutik? Empati sendiri merupakan keadaam mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Jadi empati ini terus menempel pada saat proses konseling dengan klien agar bisa tepat sasaran penyelesaian masalahnya.

Oke sobat Nusantara sampai disini dulu ya, terimakasih sudah mampir dan membaca. Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Wr Wb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun