Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan salah satu pelanggaran hukum yang dapat merugikan masyarakat dan juga suatu negara. Secara singkat, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah praktik-praktik yang melanggar hukum, merugikan kepentingan umum dan menguntungkan kepentingan pribadi.Â
Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corruptus atau corruptio yang berarti merusak atau menghancurkan. Korupsi sendiri di Indonesia berarti penyelewengan atau penyalahgunaan dana negara untuk kepentingan individual atau orang lain. Korupsi ini perlu diberantas karena merupakan kejahatan yang sangat luar biasa merugikan negara.
Sedangkan kolusi merupakan suatu hal nakal yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Dimana kolusi ini adalah perbuatan tidak jujur yang membuat kesepakatan sembunyi-sembunyi yang dibumbui dengan pemberian uang agar segala urusan berjalan dengan lancar.Â
Adapun nepotisme merupakan konflik kepentingan yang timbul saat seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan individu ketika menjalankan tugas. Pada hakikatnya, nepotisme membukakan peluang bagi kerabat atau teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan, dan menutup akses bagi orang lain.
Amin Rais tokoh reformis pada tahun 1999 menyebut bahwa mesin birokrasi di Indonesia menjadi mesin KKN yang sangat produktif. "Dari skala semut sampai skala gajah, maka KKN akan selalu menyertai proses birokrasi di Indonesia," tulis Amien Rais dalam kata pengantarnya untuk buku Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Amin dengan keras mengatakan dalam sudut pandang agama, seseorang yang memberikan toleransi pada perilaku KKN, "Maka, tidak berlebihan jika dikatakan seseorang tersebut harus diragukan keimanannya," katanya saking geramnya. Sampai sekarang, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme masih ada. Seolah-olah, pelaku tak benar-benar belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Sekali diberantas satu, justru bermunculan lagi di banyak instansi.Â
Tentang korupsi, pemberantasannya melemah pada era Jokowi. Sejumlah lembaga antikorupsi memberi catatan khusus pada periode ke dua masa jabatan Jokowi, menjelang masa akhir jabatan, Jokowi di nilai membawa upaya pemberantasan korupsi kembali pada titik nol. Catatan serupa dalam laporan hasil pemantauan korupsi tahun 2023 bahwa kasus korupsi telah melonjak tiga kali lipat dari 271 menjadi 791 pada periode kedua Jokowi.Â
"Amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor" kata Peneliti ICW Diky Anindya. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.
"Negara juga masih tidak punya taring untuk memiskinkan para koruptor" lanjut Diky. Terlihat dari perbandingan hasil vonis kerugian negara dengan nilai uang yang bisa dikembalikan pada 2020-2022.
Kejaksaan Agung, KPK, dan polri dianggap melempem karena trend buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi. Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani. Bukan pengembalian uang negara yang yang menjadi permasalahan polri, melainkan profil tersangka koruptor yang ditangkap. Polri hanya berani menangkap tersangka korupsi tingkat pejabat pelaksana saja. Bahkan tidak ada tokoh besar tersangka koruptor yang ditangani polri.
Buruknya pemberantasan korupsi disebabkan oleh pengesahan revisi Undang-undang KPK pada 2019. Yang mana RUU ini telah mencerabut independensi KPK dengan menempatkannya dibawah rumpun eksekutif. Aturan ini, membuat KPK semakin mudah disetir oleh kekuasaan.Â
Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmauan Jokowi dalam menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlihat dari gelagatnya seolah abai terhadap desakan koalisi masyarakat sipil terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, juga nihil akan kemauannya untuk agenda pemberantasan korupsi.Â
Di Indonesia TPDI dan Persatuan Advokat Indonesia melaporkan Jokowi, Gibran dan Kaesang ke KPK atas tuduhan kolusi dan nepotisme. Dengan merestui Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto, Jokowi telah mengkhianati Reformasi 1998, selain mengkhianati konstitusi yang dilahirkan dari semangat anti KKN. Di periode kedua jelang akhir masa jabatannya sebagai presiden, kata Muslim, Jokowi membangun dinasti politiknya. Di mana, menantunya, Bobby Nasution menjadi Walikota Medan, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi menjadi Walikota Solo dan kini menjadi cawapresnya Prabowo, dan putera lainnya, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI, serta iparnya, Anwar Usman menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
 Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, kata Muslim lagi, Jokowi telah menggunakan kekuasaan untuk menekan pembantu pemerintahan harus tunduk pada kepentingan politiknya. Hal ini bukan saja melanggar etika, moral dan konstitusi, tapi juga mengkhianati reformasi 1998. Dimana KKN yang menjadi musuh reformasi malah dipraktikkan langsung tanpa rasa malu oleh Jokowi dengan menekan para menteri untuk tunduk pada kepentingan dan keputusan politik dinastinya. "Politik dinasti adalah politik KKN yang ditumpas dan dilawan saat reformasi. Sehingga dapat dikatakan politik dinasti Jokowi adalah politik KKN," tandas Muslim.
Korupsi kolusi dan nepotisme dapat ditangani dengan beberapa upaya pencegahannya, yaitu dengan:
1. Memperkuat sarana serta prasarana hukum
Upaya ini dapat dicapai dengan pembuatan peraturan perundangan yang baru, mendukung upaya dari penghapusan KKN dengan memberlakukan peraturan perundangan yang lain, melakukan pencabutan maupun penyempurnaan peraturan perundangan.
2. Pemberdayaan peran masyarakat
Setiap warga memiliki hak untuk memilih dan menyuarakan pendapatnya pada suatu keputusan, baik itu secara langsung maupun tidak langsung melalui intermediasi dari institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya sebagai warga negara. Hal itu dapat diterapkan pada pemilu, yang mana masyarakat turut andil didalamnya. Dengan begitu dapat meminimalisir terjadinya korupsi kolusi dan nepotisme atau meminimalisir terjadinya KKN sebab masyarakat secara langsung ikut andil didalamnya.
3. Melakukan penyempurnaan pada kelembagaan penegak hukum
Pejabat negara tentunya harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik serta mampu melakukan pengembangan manusia jauh sampai depan sejalan dengan yang diperlukan dalam pembangunan. Harus memiliki jiwa kemanusiaan juga untuk menghindari adanya diskriminasi hukum bagi rakyat yang berada dibawah.
4. Melakukan peningkatan kesejahteraan bagi PNS, Polri dan TNI
Meningkatkan kesejahteraan aparatur negara serta pejabat negara dengan memberikan kenaikan gaji untuk mencegah terjadinya KKN. Dengan itu mereka merasakan kehidupan yang sejahtera dan merasa cukup, dengan ini kita dapat meminimalisir adanya korupsiÂ
5. Peningkatan pada pelayanan masyarakat
Meratakan pelayanan pada masyarakat secara adil dengan cara tidak membedakan status maupun golongan untuk mencegah adanya KKN. Dengan ini sebuah kepercayaan masyarakat akan muncul terhadap aparatur negara. Adanya transparansi pelayanan masyarakat, juga dibutuhkan agar suatu lembaga serta informasi dapat secara langsung diterima oleh masyarakat atau pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut.
6. Melakukan pendekatan moral terhadap aparatur negara atau pihak yang berkuasa.
Dibutuhkan adanya suatu pendekatan moral serta nilai spiritual atau keyakinan terhadap suatu ajaran agamadalam upaya pencegahan terjadinya korupsi, kolusi maupun nepotisme. Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme akan terus terjadi apabila sang aparatur negara masih memiliki kepribadian yang buruk. Maka dari itu, diharapkan para aparatur negara maupun pihak berkuasa dapat menghentikan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat merugikan banyak pihak maupun negara.
Jika suatu hari nanti kita menjadi penjabat negara, kita harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik dan memiliki planning panjang untuk kedepannya, untuk negara kita. Juga memiliki rasa kemanusiaan, tidak merasa kita itu diatas. Dan jika bisa membawa negara kita ini untuk lebih maju serta lebih sejahtera. Bukan malah merugikan negara kita dengan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H