Fase pembibitan, tanaman kelapa sawit “rakus” terhadap air dan unsur hara selain tanaman kelapa sawit juga harus dirangsang oleh berbagai pupuk dan bahan kimia lainnya agar pertumbuhannnya optimal.
Fase Pertumbuhan, Perkebunan kelapa sawit yang berada pada lahan hutan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi hutan alam sebagai penghasil air serta pengatur tata air. Tanah yang secara terus menerus ditanami oleh satu jenis tanaman seperti tanaman kelapa sawit akan mengakibatkan kualitas tanah menurun secara periodik (Badrun & Mubarak, 2010).
Contoh kasus dampak lingkungan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi Desa Penyabungan, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pada daerah tersebut terjadi berkurangnya kuantitas air tanah, pencemaran air, berkurangnya populasi satwa, dan pencemaran limbah cair industri pengolahan CPO yang diakibatkan limbah cair tidak dapat tertampung dan meluap ke sungai.
Rekomendasi penyelesaian alternatif
Banyak sekali rekomendasi alternatif untuk mengganti minyak sawit, namun menimbang dari keunggulan, dampak negatif dan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. Terdapat metode bijak untuk setidaknya menengahi atau meredam sampai terdapat metode yang efektif, yaitu dengan agroindustri yang berkelanjutan.
Menurut Khatimah (2018), Sistem agroindustri yang berkelanjutan tergolong produktif, kompetitif dan efisien, serta pada saat yang sama dapat melindungi dan memperbaiki kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar areal industri perkebunan kelapa sawit.
Berbagai instrumen manajemen lingkungan dan kebijakan lingkungan yang berkaitan dengan agroindustri kelapa sawit yang berkelanjutan antara lain AMDAL, standar ISO 14000, ecolabeling, hutan lestari, produksi bersih (cleaner production), audit lingkungan dan Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) (Kurniawan & Industri, n.d.).
Kegiatan industri kelapa sawit berkelanjutan dengan berlandaskan lingkungan dapat diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya secara efektif dan efisien agar produksi dari industri perkebunan kelapa sawit menjadi produksi yang bersih.
Selain itu industri untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan menyeleksi lahan yang akan digunakan untuk penanaman kelapa sawit. Lahan-lahan yang diprioritaskan adalah yang terdegradasi atau terlantar dan harus mengidentifikasi karakteristik lahannya baik gambut atau lahan hutan primer.
Bagi industri perkebunan kelapa sawit yang ingin membuka lahan dengan memanfaatkan hutan tidak diperbolehkan membakar lahan hutan, dengan begitu peningkatan emisi karbon di udara dapat dikurangi.
Menurut Bappenas (2010), permasalahan pembangunan kelapa sawit di Indonesia dapat diatasi dengan menerapkan 8 alternatif kebijakan pembangunan kelapa sawit, yaitu:
- pengembangan produk (hilir dan samping) dan peningkatan nilai tambah produk kelapa sawit;
- transparansi informasi pembangunan kebun kelapa sawit;
- promosi, advokasi dan kampanye publik tentang industri kelapa sawit berkelanjutan;
- mendorong penerapan prinsip dan kriteria RSPO;
- pengembangan mekanisme resolusi konflik;
- pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya;
- penguatan dan penegakan hukum pembangunan kelapa sawit berkelanjutan melalui penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan tata kelola perizinan, dan;
- pengendalian konversi hutan alam primer dan lahan gambut
Setelah mengetahui keunggulan dan dampak lingkungan yang diakibatkan kelapa sawit, dimanakah posisi kita berpihak? pro? kontra? atau netral?
"segala sesuatu memiliki dampak baik dan buruk, jadilah manusia bijak dengan tidak menghakimi sesatu dari satu sisi"
Refrensi
(1), (2), (3), (4), (5)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H