Mohon tunggu...
Gus Imam
Gus Imam Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan

Saya adalah seorang hamba Allah yang berusaha dan ingin selalu berada di atas Al Haq (kebenaran), yang mempelajari islam di atas pemahaman para shahabat radhiyallahu'anhum dan mencoba istiqomah di atasnya. Insya allah bi'idznillah. Allah telah berfirman : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. AT TAUBAH : 100). Wallohu a'lamu bish showab

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Bermasyarakat dan Bernegara menurut Konsep Islam

23 November 2024   00:40 Diperbarui: 23 November 2024   00:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi Menurut Konsep Islam/dokpri

Oleh: GUS IMAM (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan) 

Dalam diskursus sosial-politik modern, toleransi menjadi kata kunci yang tidak hanya relevan tetapi juga sangat mendesak. Di tengah dinamika globalisasi yang mempertemukan berbagai ideologi, budaya, dan keyakinan, pertanyaan tentang bagaimana Islam memandang toleransi terus menjadi topik yang menuntut eksplorasi mendalam. 

Islam, sebagai sebuah sistem nilai yang kompleks, memberikan panduan filosofis dan praktis tentang bagaimana toleransi dapat menjadi fondasi peradaban yang inklusif dan progresif.

Konsep toleransi dalam Islam melampaui sekadar narasi permisivitas. Ia berakar pada prinsip keadilan (al-adl), penghormatan terhadap keberagaman (ikhtilaf), dan pengakuan atas kebebasan beragama (hurriyah ad-din). Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." (QS. Al-Baqarah: 256).

Ayat ini menegaskan bahwa toleransi adalah bagian integral dari ajaran Islam, tidak hanya sebagai pilihan etis tetapi juga sebagai perintah teologis. Dalam konteks masyarakat dan negara, ayat ini memberikan landasan bagi terciptanya ruang sosial yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan individu.

Namun, di balik klaim universalitas toleransi Islam, sering kali muncul skeptisisme tentang bagaimana konsep ini diterapkan di negara-negara dengan mayoritas Muslim. Fenomena seperti eksklusi minoritas, diskriminasi berbasis agama, dan konflik sektarian menjadi tantangan besar yang menuntut refleksi kritis. 

Apakah toleransi yang dimaksud dalam Islam benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik, ataukah ia hanya sebuah idealisme yang sulit dijangkau dalam realitas politik?

Islam menawarkan solusi sistemik yang dapat menjembatani celah ini melalui pendekatan berbasis maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah). Pendekatan ini menempatkan perlindungan agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-aql), keturunan (hifzh an-nasl), dan harta (hifzh al-mal) sebagai prioritas utama.

 Dengan demikian, toleransi bukan hanya soal hidup berdampingan tetapi juga memastikan bahwa hak-hak fundamental setiap individu terjamin dalam sistem sosial dan politik.

Dalam sejarah Islam, contoh toleransi yang diterapkan dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW di Madinah sering disebut sebagai model ideal. Piagam Madinah, dokumen pertama yang secara eksplisit mengatur hubungan antara berbagai kelompok agama dalam satu negara, menunjukkan bagaimana Islam mendefinisikan toleransi sebagai asas kohesi sosial. Di bawah piagam ini, umat Muslim, Yahudi, dan komunitas lainnya hidup berdampingan dalam kesetaraan hukum dan tanggung jawab kolektif terhadap negara.

Namun, apakah model ini masih relevan dalam era digital yang ditandai dengan hyper-connectivity dan polarisasi ideologi? Jawabannya terletak pada bagaimana umat Islam mampu mengadaptasi nilai-nilai tradisional ini ke dalam konteks modern melalui teknologi, media sosial, dan pendidikan berbasis inklusi.

Teknologi, misalnya, dapat menjadi alat untuk mempromosikan toleransi melalui platform berbasis kecerdasan buatan (AI-driven platforms) yang mendorong dialog antaragama secara konstruktif. Algoritma dapat dirancang untuk menyaring ujaran kebencian dan memperkuat narasi positif tentang keberagaman. Namun, teknologi tanpa moralitas hanya akan menjadi instrumen netral yang dapat dimanipulasi. 

Oleh karena itu, prinsip-prinsip Islam tentang toleransi harus menjadi landasan etis dalam desain teknologi.

Di sisi lain, pendidikan juga memainkan peran sentral dalam membangun generasi yang memahami nilai-nilai toleransi. Kurikulum berbasis Islam harus menekankan pentingnya menghormati perbedaan dan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam kebijakan negara. Pendidikan toleransi tidak hanya relevan di madrasah tetapi juga di ruang-ruang publik di mana interaksi antaragama terjadi secara langsung.

Namun, toleransi bukanlah konsep yang tanpa batas. Dalam Islam, ia dibingkai oleh prinsip amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan kata lain, toleransi tidak berarti menerima segala hal tanpa kritik, tetapi membangun ruang dialog yang berdasarkan keadilan dan kebenaran. Dalam sebuah masyarakat yang plural, Islam mengajarkan pentingnya ta'awun (kerja sama) dalam hal-hal yang membawa manfaat bersama, sekaligus keberanian untuk menolak segala bentuk kezaliman.

Dalam ranah politik, toleransi membutuhkan keberanian untuk mendobrak sekat-sekat sektarianisme yang sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Islam menuntut pemimpin untuk bersikap adil, sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Nisa: 58:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil."

Oleh karena itu, gerakan sosial-politik masyarakat Islam harus didasarkan pada semangat untuk menciptakan struktur negara yang menghormati keberagaman sekaligus memperkuat keadilan. Islam tidak mengajarkan toleransi yang pasif, tetapi toleransi yang proaktif dan transformatif---yang mendorong setiap individu untuk berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih damai dan berkeadilan.

Toleransi bermasyarakat dan bernegara menurut Islam bukanlah konsep yang terjebak dalam romantisme sejarah. Ia adalah manifesto peradaban yang menuntut aksi nyata, inovasi, dan keberanian untuk menantang segala bentuk ketidakadilan, baik yang muncul dalam relasi antarindividu maupun dalam sistem yang lebih luas. Toleransi bukanlah kelemahan; ia adalah kekuatan yang mendasari peradaban yang beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun