Dalam sejarah Islam, contoh toleransi yang diterapkan dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW di Madinah sering disebut sebagai model ideal. Piagam Madinah, dokumen pertama yang secara eksplisit mengatur hubungan antara berbagai kelompok agama dalam satu negara, menunjukkan bagaimana Islam mendefinisikan toleransi sebagai asas kohesi sosial. Di bawah piagam ini, umat Muslim, Yahudi, dan komunitas lainnya hidup berdampingan dalam kesetaraan hukum dan tanggung jawab kolektif terhadap negara.
Namun, apakah model ini masih relevan dalam era digital yang ditandai dengan hyper-connectivity dan polarisasi ideologi? Jawabannya terletak pada bagaimana umat Islam mampu mengadaptasi nilai-nilai tradisional ini ke dalam konteks modern melalui teknologi, media sosial, dan pendidikan berbasis inklusi.
Teknologi, misalnya, dapat menjadi alat untuk mempromosikan toleransi melalui platform berbasis kecerdasan buatan (AI-driven platforms) yang mendorong dialog antaragama secara konstruktif. Algoritma dapat dirancang untuk menyaring ujaran kebencian dan memperkuat narasi positif tentang keberagaman. Namun, teknologi tanpa moralitas hanya akan menjadi instrumen netral yang dapat dimanipulasi.Â
Oleh karena itu, prinsip-prinsip Islam tentang toleransi harus menjadi landasan etis dalam desain teknologi.
Di sisi lain, pendidikan juga memainkan peran sentral dalam membangun generasi yang memahami nilai-nilai toleransi. Kurikulum berbasis Islam harus menekankan pentingnya menghormati perbedaan dan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam kebijakan negara. Pendidikan toleransi tidak hanya relevan di madrasah tetapi juga di ruang-ruang publik di mana interaksi antaragama terjadi secara langsung.
Namun, toleransi bukanlah konsep yang tanpa batas. Dalam Islam, ia dibingkai oleh prinsip amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan kata lain, toleransi tidak berarti menerima segala hal tanpa kritik, tetapi membangun ruang dialog yang berdasarkan keadilan dan kebenaran. Dalam sebuah masyarakat yang plural, Islam mengajarkan pentingnya ta'awun (kerja sama) dalam hal-hal yang membawa manfaat bersama, sekaligus keberanian untuk menolak segala bentuk kezaliman.
Dalam ranah politik, toleransi membutuhkan keberanian untuk mendobrak sekat-sekat sektarianisme yang sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Islam menuntut pemimpin untuk bersikap adil, sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Nisa: 58:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil."
Oleh karena itu, gerakan sosial-politik masyarakat Islam harus didasarkan pada semangat untuk menciptakan struktur negara yang menghormati keberagaman sekaligus memperkuat keadilan. Islam tidak mengajarkan toleransi yang pasif, tetapi toleransi yang proaktif dan transformatif---yang mendorong setiap individu untuk berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih damai dan berkeadilan.
Toleransi bermasyarakat dan bernegara menurut Islam bukanlah konsep yang terjebak dalam romantisme sejarah. Ia adalah manifesto peradaban yang menuntut aksi nyata, inovasi, dan keberanian untuk menantang segala bentuk ketidakadilan, baik yang muncul dalam relasi antarindividu maupun dalam sistem yang lebih luas. Toleransi bukanlah kelemahan; ia adalah kekuatan yang mendasari peradaban yang beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H