Gus Imam (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Diakui atau tidak saat ini masyarakat Magetan masih di hadapkan dengan problem krusial, seperti kemiskinan yang kian menggurita, sistem pendidikan yang belum bisa menghasilkan calon pemimpin berkarakter, generasi unggul yang mampu menghadapi tantangan persaingan global, problem pembangunan yang stagnan, kasus kasus birokrasi yang tak terselesaikan, Â kriminalitas yang kian menanjak kuantitas dan kualitasnya, serta problem sosial lainnya yang serasa terus menghimpit dada.
Dalam koridor opini warga magetan saat ini muncul sebuah ekspektasi akan datangnya seorang pemimpin hebat, populis, yang berkarakter "membebaskan" dan agamis, yang harapkan dapat dilahirkan melalui momen Pilkada 2018 nanti. Rakyat Magetan menginginkan hadirnya sosok pemimpin yang ideal, sehebat dan seindah janji janji manis yang disampaikan para peminat kursi AE 1 dan AE 2 dalam baliho berukuran besar dan banner-banner kampanye yang terpampang di dekat trafic light dan lokasi  strategis lainnya di kota bolu rahayu ini. Meskipun jejalan media kampanye tersebut mulai menyeruak merusak pandangan dan keindahan dalam konteks indahnya tata kota parawisata Magetan tercinta.
Sebagaimana dapat kita amati bersama, pesta demokrasi di negeri ini secara de facto tak lebih dari sekadar ritual lima-tahunan untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin pragmatis, 'gila kuasa', dan nir-testimoni politik. Pesta Pilkada belum cukup mampu melahirkan figur pemimpin yang transformatif dan yang "mau bekerja" untuk kesejahteraan rakyat. Banyak kebijakan pemerintah pasca pilkada yang acapkali kontraproduktif dengan ekspektasi rakyat. Pemerintah Daerah juga terkesan sunyi dan sepi dalam mengurus nasib rakyat miskin yang kian termarjinalkan.
Fenomena ini tentunya bisa saja menjadi justifikasi bahwa para pemimpin yang selama ini dipilih rakyat dalam momen Pilkada cenderung pragmatis, oportunis, dan memiliki policy yang tidak populis. Jabatan politik hanya digunakan oleh pimpinan daerah sebagai 'sapi perah' untuk memperkaya diri dan keluarganya. Bahkan jika perlu bagaimana caranya melanggengkan jabatan secara turun temurun, mempertahankan dinasti keluarga tetap berada pada tampuk kepemimpinan tertinggi di daerah. Selain berperan untuk menyelamatkan kepemimpinan sebelumnya, juga untuk memenuhi pundi pundi harta dalam rekening abadi dan usaha keluarga.
Secara pragmatis banyak penguasa incumbent bersikukuh mempertahankan status quo nya. Lucu bin aneh, di tengah geramnya rakyat menyaksikan sepak terjang mereka yang de facto tidak memuaskan, mereka justru berkukuh berkuasa lebih lama, mereka kalap membangun benteng pertahanan, menciptakan garis lintang, dan terusan demarkasi terhadap pelbagai entitas sosial dan rival-rival politik mereka. Organisasi Masyarakat, organisasi keagamaan, dan bahkan organisasi beladiri, baik itu secara pribadi pengurusnya maupun secara organisasional hanya menjadi jembatan yang digunakan untuk melancarkan hajatnya.
Pada tataran ini, terlihat bahwa politik direduksi hanya sebagai arena kompetisi besar untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri (politics, at its worst is a selfish grab for power, glory and riches). Ketika politik dalam kenyataannya hanyalah ajang pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan, membuang dan mengumpulkan uang, maka pada kondisi ini, sundulan pertanyaan yang paling kontekstual adalah, apa itu politik?
Dalam situasi chaos seperti ini, batasan politik yang paling representatif mungkin apa yang pernah dilontarkan Lasswell (1972), bahwa politik adalah urusan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how).
Indeks tesis Lasswell ini semakin menguat manakala dalam banyak kesempatan, kita acap menyaksikan politik kian terbajak elite (dalam konteks ini, para elite di daerah). Karena dibajak terus-menerus, politik akhirnya mengalami pergeseran makna asli. Politik bukan lagi sebuah seni atau cara (techne) untuk mencapai bonum commune, melainkan sebuah entitas yang tersuntik oleh beragam kepentingan primordial yang tidak menyehatkan. Dan, ini nyata dalam level konstelasi dan praksis politik di hadapan kita saat ini.
Politik untuk tataran Magetan dan Indonesia secara keseluruhan, sudah mengalami percampuran dan penyilangan antara yang asli dan tiruan, utopia dan kebenaran, bayang-bayang (simulakrum) dan realitas, serta kebenaran dan kepalsuan.
Para pemimpin, yang secara politis dan konstitusional,memiliki tanggung jawab dalam mengurus kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya mampu menunjukkan tanggung jawab secara holistik. Bahkan, pejabat politik maupun pejabat publik lebih condong berpihak pada kepentingan-kepentingan primordial yang hanya memberikan keuntungan besar bagi diri dan keluarganya.
Mereka tidak tahu atau mungkin "pura-pura" tidak peduli dengan substansi jabatan yang mereka sandang. Janji pada masa-masa kampanye untuk memperhatikan nasib rakyat secara sungguh hanya tinggal janji. Kekuasaan itu kini didistribusi sebagai milik pribadi dan untuk kepentingan pribadi pula.
Representasi pemimpin (daerah) seperti ini dilukiskan Hobbes denganistilah selfish man, yaitu pemimpinyang lebih mementingkan diri sendiri,  yang dapat melakukan apa saja atas manusia lain dan segala kekuatan yang ada di sekitarnya demi memenuhi hasrat  dan kepentingan sendiri (Amir Piliang, 2003). Manusia-manusia selfish man versi Hobbes ini bisa menghalalkan segala cara, termasuk mengeksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilan orang lain sebagai suatu komoditas ( for commodity). Pada tataran ini, ruang politik memiliki kecenderungan pada apa yang oleh Habermas, filsuf kontemporer asal Jerman, sebut sebagai "rasionalitas instrumental". Dalam paradigma "rasionalitas instrumental", orang lain (rakyat) hanya dilihat sebagai instrumen atau objek, di mana dengan kehadirannya, tujuan dari tindakanku tercapai.
Dalam hal ini, para pemimpin pragmatis menginstrumentalisasi rakyat untuk menunjang tercapainya tujuan tindakan atau kepentingan pribadinya yang tak lain dan tak bukan adalah menjaga status quo. Dalam karakter politik yang demikian, rakyat jamak diperdaya dengan sekelebat janji kesejahteraan. Ketika belum menjadi pemimpin, mereka mengeluarkan suara-suara kritis berdaya transformatif terhadap sekelumit kejanggalan dalam tubuh bangsa. Rakyat selalu diiming-iming dengan sejumlah janji dan paparan program yang begitu mentereng dan populis. Namun, ketika sudah berhasil merengkuh dayung kekuasaan, gema nyaring suara profetik-transformatif itu semakin hambar dan tak kedengaran lagi.
Pada spektrum ini, secara riil memang rakyat dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan politik para pemimpin cerdik. Mereka menjadi korban politik para pemimpin yang suka bohong. Dan semua gejala ini menggiring rakyat, pada sebuah skeptisisme besar terhadap politik dan perangkat-perangkat pembangunnya. Bukan hanya itu, paradigma ini secara nyata akan meruntuhkan harapan munculnya sosok pemimpin ideal yang sudah lama terkonstruksi dalam benak rakyat. Entah berapa lama lagi rakyat harus menunggu hadirnya sosok pemimpin yang mereka idam-idamkan tersebut.
Namun, di tengah hitam pekatnya konstelasi politik di hadapan kita, masyarakat magetan tidak boleh putus asa dan pesimistis. Warga Magetan harus tetap memiliki harapan dan cita-cita. Masih ada peluang bagi kita untuk menghadirkan pemimpin daerah yang kita idam-idamkan. Pesta Pilkada telah menanti kita untuk merealisasikan mimpi besar untuk menemukan sosok pemimpin yang ideal yang selama ini kita idam-idamkan. Komitmen Riil dalam Kontrak Politik bisa menjadi imperatif moral bagi kita untuk memilih pemimpin baru yang visioner dan yang memiliki niat yang tulus dan mulia dalam melayani rakyat.
Para calon itu harus sadar bahwa memimpin dan mengelola kehidupan masyarakat yang begitu kompleks, tidak cukup hanya menjadi seorang pejabat yang hanya menggunakan kepintaran, ketegasan, dan politik kekuasaan yang digenggamnya. Tetapi, hati nurani dan filter ketaqwaan menjadi sangat penting untuk dikedepankan dalam setiap langkah dan kebijakan yang diambil.
Dalam Islam, pemimpin dan pejabat yang baik digambarkan ciri-cirinya oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melalui sebuah hadis, di antaranya, menurut hadis dari 'Auf bin Malik, "Sebaik-baik pemimpin kamu ialah pemimpin yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, kamu doakan mereka dan mereka pun mendoakan kamu, dan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (HR Muslim).
Pemimpin dan pejabat yang selalu menggunakan hati nurani dalam menjalankan kekuasaan, merekalah yang akan didoakan oleh kaum Muslimin sesuai doa yang diajarkan Nabi, "Ya Allah! Orang yang diserahi urusan orang Islam, lalu menyusahkan mereka maka susahkanlah dia dan orang yang diserahi urusan orang Islam, lalu dia berbelas kasih kepada mereka maka belas kasihanilah mereka."
Warga Magetan harus cerdas memilih calon pemimpin pada Pilkada mendatang, pilihlah dan dukunglah pemimpin yang shalih, yang tidak redup cahaya hati nuraninya di saat berkuasa dan tidak silau oleh kekuasaan uang yang bisa mempengaruhi kebijakan. Bersamalah dengan para calon pemimpin yang mempunyai rasa takut kepada Allah, yang enggan berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang lemah, bukan pembohong, tidak khianat, tidak ingkar janji dan amanah terhadap tugas yang diembannya.
Wallahu a'lam bish shawwab. Â
*******************************
Tulisan ini adalah bagian dari catatan hasil Diskusi Politik Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Magetan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Magetan pada akhir Ramadhan 1438 H, di Masjid Muhammadiyah Barat. Hadir dalam diskusi politik tersebut Kader Pemuda Muhammadiyah se-Kabupaten Magetan, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur dan Tokoh Politik Lokal diantaranya Wakil Ketua DPRD Kabupaten Magetan, H. Sutikno, BSc. Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur, Mukayat Al Amin, M.Sosio. dan Sekretaris PWPM, Dikky Syadqamullah, M.HES.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H