Ini bukan program pemerintah: makan bergizi gratis (MBG), melainkan program masyarakat secara swadaya, suka rela. Tanpa melibatkan anggaran negara, cuma rakyat biasa saja. Tapi sudah berjalan lama, jauh sebelum lahirnya program MBG. Terutama saat hari Jumat, baik di masjid atau tempat-tempat tertentu.
Biasanya diberi nama: Jumat berkah. Modelnya banyak, tapi sebagian besar berupa makanan, gratis. Jika di masjid, biasanya ditaruh di serambi, untuk makan siang jamaah salat Jumat.
Hanya saja, biasanya, sekali lagi, biasanya, makanan ini jadi idola anak kos dan anak-anak yang salat Jumat. Bahkan, terkadang, mereka rela berebut, demi mendapatkan makan gratis itu. Termasuk penulis sendiri juga pernah ikut berburu makan gartis. Mungkin, Anda, para pembaca, juga ada yang pernah mengalami?
Fenomena ini seperti sudah melegenda, mentradisi di masyarakat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, satu yang beda: makanan gratis itu terasa lebih lezat. Seolah tidak seperti nikmatnya makanan biasa, sensasinya beda. Sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Bahkan, seakan makanan gratis dari masjid Jumatan itu jadi menu paling nikmat se-dunia. Mungkin, dari komposisi gizi dan cara masak, jauh jika dibandingkan menu restoran bintang lima, tapi dari segi kenikmatan jadi juara. Seolah sulit ditandingi.
Sehingga, banyak yang bertanya-tanya: apakah ini yang dinamakan keberkahan makanan. Nilai yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Atau, ada kemungkinan lain, yang sulit dideteksi oleh nalar manusia biasa.
Mungkin, itu juga alasan diberi nama: Jumat Berkah. Bukan diberi nama: Senin berkah, atau Rabu berkah. Atau, mungkin, karena yang memberinya dengan hati, tanpa paksaan. Niatnya tulus. Memberinya dengan mata hati, bukan mata kepala. Sehingga, penerimanya juga sama, menggunakan mata hati, bukan mata kepala.
Jika mata hati sudah bicara, apapun terasa indah, terlihat sempurna. Meski yang diterima itu biasa saja menurut mata kepala kebanyakan orang. Mungkin, itulah hebatnya mata hati, selalu punya sudut pandang lain, dalam menilai sesuatu.Â
Atau, ada kemungkinan lain lagi, seperti karena gratis, jadi nikmat saja. Tanpa keluar uang. Jika Anda, para pembaca, punya pendapat lain, bisa ditulis di kolom komentar.
Budaya Gotong-Royong Â
Mungkin, tidak berlebihan, jika ada yang mengatakan: bangsa Nusantara tidak perlu diajari gotong-royong, atau tolong-menolong. Ini sudah membudaya. Warisan dari generasi ke generasi. Peninggalan nenek moyang.
Apalagi, bangsa Nusantara ini sering mendapatkan peringkat atas, dalam hal berbagi, apapun kondisinya, tetap dermawan. Jika urusan kemanusiaan, bangsa Indonesia tidak pernah 'memandang perbedaan'. Semua bersatu, saling tolong-menolong, bahu-membahu, dalam kegiatan kemanusiaan.
Mungkin, semangat ini yang jarang dimiliki bangsa lain. Sehingga, terkadang, mereka heran dengan bangsa Indonesia. Karena bangsanya sangat beragam, tapi tetap menyatu, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita harus bangga menjadi Indonesia. Nilai ini harus dirawat, hingga kiamat. Semoga timnas lolos Pildun 2026. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI