PENDAHULUAN
Taqnin al-Ahkam, dalam perkembangan hukum Islam merupakan salah satu diskursus yang memicu kontroversi di kalangan para ahli hukum. Sebagian pakar hukum menyetujui hukum Islam berubah bentuk menjadi hukum positif, namun ada pula pakar hukum yang menentangnya.[1] Taqnin al-Ahkam termasuk wacana yang relatif baru dalam konteks pembangunan hukum Indonesia. Wacana Taqnin hukum Islam menjadi fokus kajian para ahli setelah ditetapkannya kebijakan otonomi khusus bagi provinsi Aceh untuk menerapkan hukum Islam dalam berbagai bidang kehidupan.
Penyusunan dan penulisan Hukum Jinayat menjadi hukum positif memunculkan pula beberapa problema dan tantangan bagi para ulama, akademisi dan pembentuk Qanun, seperti bagaimana mentransfer bahasa hukum yang terdapat dalam al-Qur'an, hadith dan kitab fikih menjadi bahasa undang-undang. Bagaimana pula kedudukan syari'at, fikih, hukum positif dan hukum adat dalam proses penulisan dimaksud.
Pekerjaan ini tidak mudah, karena bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu, dan corak bahasa hukum atau bahasa undang-undang berbeda dengan bahasa hukum Islam yang teksnya berasal dari bahasa Arab. Bagaimana terminologi bahasa Arab bertransformasi menjadi peraturan hukum, dinyatakan dan dijabarkan dalam bahasa Indonesia disusun dengan tepat agar masyarakat dapat memahami maksud, tujuan, dan ketentuan dalam suatu peraturan hukum kemudian mematuhinya. Lembaga pelaksana dan lembaga peradilan, akan menafsirkan dan melaksanakan peraturan hukum tersebut.
Hukum Jinayat terdiri dari qisas, hudud dan ta'zir. Materi hukum ditetapkan berdasarkan dalil yang qat'iy dan terdapat pula materi hukum ditetapkan berdasarkan dalil dzanny. Bagaimana pembentuk Qanun memposisikan syari'at, fikih, hukum positif dan adat dalam proses legislasi hukum Jinayat menjadi masalah tersendiri yang perlu ditemukan jawabannya sehingga ditemukan peran dan fungsi masing-masing mereka dalam proses Taqnin. Untuk itu diperlukan adanya kajian serius tentang proses Taqnin hukum Jinayat, melalui tulisan ini akan dibahas sedikit terkait apa Pengertian Taqnin Hukum Jinayat Aceh, bagaimana prosedur dan apa yang mencakup dalam ruang lingkup Taqnin Hukum Jinayat di Aceh.
PEMBAHASANÂ
1. Pengertian, dan Ruang lingkup Taqnn Hukum Jinayat di Aceh
a. Pengertian Taqnn Hukum Jinayat Aceh
Pada bagian sub pembahasan ini, pengertian Taqnn semakna dengan pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara pembuatan Qanun. Sementara definisi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya sebagai dasar pemikiran untuk menganalisis makna Taqnn yang didefinisikan oleh pakar hukum dan legislator di Aceh.
Ungkapan Taqnin diartikan dengan proses legislasi. Kata legislasi berarti peraturan. Istilah legislasi secara khusus berarti pembentukan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Qanun. Kata legislasi digunakan untuk menyederhanakan istilah proses pembentukan peraturan.
Menurut Idris Mahmudy, Taqnin adalah penulisan hukum pidana Islam dalam bentuk bab dan pasal untuk dipedomani oleh hakim, jaksa, polisi dan petugas Wilayat al-Hisbah dalam penegakan hukum Islam. Menurutnya Taqnin merupakan istilah yang berkembang di dunia Islam dalam upaya merubah hukum Islam menjadi hukum positif.[2] Menurut Moenawar A. Jalil menyatakan, Taqnin adalah upaya penulisan hukum pidana Islam yang dilaksanakan oleh lembaga legislatif bersama dengan eksekutif dalam rangka implementasi kewenangan yang diberikan oleh aturan perundang-undangan terkait.[3]
Taqnin didefinisikan pula dengan pengundangan atau pembuatan Undang-undang. Materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih disebut hukum normatif. Ketika hukum fikih tersebut diundangkan oleh negara (DPRA bersama Pemerintah Aceh), maka fikih berubah bentuk menjadi hukum positif.
Produk legislasi dalam konteks Aceh disebut Qanun Aceh. Berdasarkan Qanun Aceh, Nomor 5 Tahun 2011 tentang tata cara pembentukan qanun, Pasal 22, mendefinisikan Qanun Aceh adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRA dengan persetujuan bersama Gubernur yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Dalam konteks Aceh proses legislasi Hukum Jinayat adalah pembuatan aturan atau norma menjadi peraturan perundang-undangan sehingga menjadi hukum positif yang menjadi pedoman para penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini berarti, pengundangan Hukum Jinayat menjadi hukum positif memiliki (memaksa) para pihak (aparat penegak hukum, dan masyarakat) berpedoman pada qanun tersebut. Transformasi asas dan kaidah hukum Jinayat dalam peraturan perundang-undangan menjadikan qanun hukum Jinayat memiliki daya atur, daya ikat, dan daya paksa.
Dengan demikian, legislasi hukum Jinayat Aceh berarti proses pembentukan materi hukum pidana menjadi peraturan perundangan-undangan sebagai pedoman bagi masyarakat dan penegak hukum dalam lingkup hukum pidana nasional. Proses pembentukan direncanakan melalui program legislasi, yaitu sebuah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang atau peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Pada tingkat nasional program legislasi ini disebut Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Pada tingkat provinsi Aceh, program legislasi disebut Prolega (Program Legislasi Aceh) dan program legislasi untuk tingkat kabupaten/kota disebut Prolek.Â
Pada taraf nasional disebut Prolegnas (program legislasi nasional) yang lebih mendorong proses pembentukan Undang-undang, namun Prolega menitikberatkan pada proses penyusunan Qanun-qanun provinsi. Demikian pula dengan Prolek yang akan mendorong Qanun-qanun di tingkat kabupaten/kota di Aceh. Pedoman yang menjadi dasar hukum proses dan mekanisme legislasi Hukum Jinayat di Aceh diatur dalam Bab XXXV; Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota, termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh. Qanun ini merupakan derivasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka proses legislasi Hukum Jinayat Aceh sesuai dengan prinsip Negara berdasarkan hukum, sebagai teori utama yang peneliti gunakan, di mana Negara menetapkan payung hukum bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan ditetapkan oleh institusi Negara secara rinci dengan menyebutkan pengertian proses legislasi dalam kerangka Negara berdasarkan hukum. Apabila dihubungkan dengan teori legislasi dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan, maka proses legislasi hukum Jinayat Aceh telah melahirkan beberapa pembaharuan proses legislasi terutama pengertian terkait dengan proses pembentukan hukum. Ungkapan Qanun dan Qanun Aceh adalah istilah baru dalam hukum positif di Indonesia. Demikian pula ungkapan pembentukan Qanun.
b. Ruang Lingkup Taqnn Hukum Jinayat AcehÂ
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XVII, memuat Pasal 125, 126 dan 127 tentang syari'at Islam dan pelaksanaannya. Pasal 125 ayat (2) menyatakan, Syari'at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi beberapa hal, antara lain: (1) akidah, (2) syariah dan (3) akhlak. Pasal ini dijelaskan lebih rinci dalam ayat (2) yaitu Syari'at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga/perdata), muamalah (hukum ekonomi), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar dan pembelaan Islam. Pasal 125 ayat (2) di atas, secara tegas menyebutkan ruang lingkup pelaksanaan syari'at Islam yang juga meliputi hukum jinayah (hukum pidana).
Namun berdasarkan Pasal 125 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 di atas memberikan implikasi kewenangan luas bagi Pemerintah Aceh bersama DPRA membentuk Qanun Aceh, baik jenis dan bentuk hukuman dalam muatan materi yang berbeda dengan ketentuan yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan dalam materi muatan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 15, ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebutkan materi muatan pidana hanya dapat dimuat dalam; a. Undang-undang. b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pada Pasal 15 ayat (2) menyebutkan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000, (lima puluh juta rupiah). Pada Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan peraturan daerah Provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau Pidana Denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.12 Tahun 2011 di atas dikecualikan, karena adanya pasal 241 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan; Qanun mengenai Jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka dasar hukum proses Taqnin hukum pidana (Jinayat), mekanisme, ruang lingkup materi muatannya memiliki landasan konstitusional yang cukup jelas dan kuat. Para legislator dapat membentuk aturan hukum pidana Islam yang berbeda dengan ketentuan hukum pidana lainnya.
Berdasarkan sejumlah dasar hukum di atas, pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 menjelaskan maksud 40 (empat puluh) definisi sejumlah istilah yang termaktub dalam Qanun Aceh. Beberapa definisi istilah dimaksud pada Pasal 1 diktum 15, definisi Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang Jarimah dan 'Uqubat. Diktum 16, definisi Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syari'at Islam yang dalam Qanun ini diancam dengan 'Uqubat Hudud dan/ atau Ta'zir.
Diktum 17, 'Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap pelaku Jarimah. Diktum 18, Hudud adalah jenis 'Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam Qanun secara tegas. Diktum 19, Ta'zir adalah jenis 'Uqubat yang telah ditentukan dalam qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/ atau terendah. Diktum 20, Restitusi adalah sejumlah uang atau harta tertentu, yang wajib dibayarkan oleh pelaku Jarimah, keluarganya, atau pihak ketiga berdasarkan perintah hakim kepada korban atau keluarganya, untuk penderitaan, kehilangan harta tertentu, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Diktum 21 sampai dengan 40 dapat diamati pada lampiran Disertasi ini. Sejumlah diktum di atas menurut peneliti merupakan hasil perumusan secara khusus karena hanya termaktub dalam Qanun ini, dan tidak ditemukan maksud serupa dengan Qanun ini.
Pasal 3 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, menyatakan ruang lingkup hukum Jinayat mengatur tentang:
- Pelaku Jarimah;
- Jarimah; dan
- 'Uqubat.
 Pasal 3 ayat (2) merincikan Jarimah meliputi:[4]
- Â Khamar;
- Maisir;
- khalwat;
- Ikhtilath;
- Zina;
- Pelecehan seksual;
- Pemerkosaan;
- Qadzaf;
- Liwath;
- Musahaqah.
Ruang lingkup hukum Jinayat dan Jarimah menggunakan terma bahasa Arab seperti istilah Jarimah dan 'Uqubat. Istilah Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Qadzaf, Liwath dan Musahaqah tetap menggunakan terminologi bahasa Arab. Hal ini sebagai salah satu bentuk pembaharuan hukum dalam konteks keindonesian dan pembeda nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam. Ruang lingkup Qanun Aceh Nomor 6 tentang Hukum Jinayat di atas, memuat pula ruang lingkup dan jenis Jarimah yang lebih rinci dan berkembang dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti penetapan Khalwat, Ikhtilath, Liwath dan Musahaqah sebagai perbuatan Jarimah.
 Hal ini dapat dinyatakan legislasi hukum Jinayat Aceh telah melakukan beberapa pengembangan dan pembaharuan hukum. Pengembangan dan pembaharuan Hukum dapat diamati pula dari ketentuan Pasal 4 Ayat (1) sampai dengan Ayat (7) sebagai berikut:
- 'Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c terdiri dari: a. Hudud; dan b. Ta'zir.
- 'Uqubat Hudud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbentuk cambuk.
- 'Uqubat Ta'zir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. 'Uqubat Ta'zir utama; dan b. 'Uqubat Ta'zir tambahan.
- 'Uqubat Ta'zir utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri dari: a. cambuk; b. denda; c. penjara; dan d. restitusi.
- 'Uqubat Ta'zir Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari: a. pembinaan oleh negara; b. Restitusi oleh orang tua/wali; c. pengembalian kepada orang tua/wali; d. pemutusan perkawinan; e. pencabutan izin dan pencabutan hak;f. perampasan barang-barang tertentu; dan g. kerja sosial.
- 'Uqubat Ta'zir Tambahan dapat dijatuhkan oleh hakim atas pertimbangan tertentu.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan 'Uqubat Ta'zir Tambahan diatur dalam Peraturan Gubernur.
Ketentuan Pasal di atas, tentunya tidak ditemukan klasifikasi dan substansinya secara identik dalam berbagai pendapat fikih. Ketentuan-ketentuan dimaksud dalam konteks hukum Aceh sebagai bagian sistem hukum Indonesia hasil produk eksekutif (Pemerintah Aceh), hasil kerja sama dengan DPRA untuk kepentingan bangsa dan negara. Maka kedua lembaga tersebut memiliki tugas dan kewajiban yang amat sentral dan krusial untuk merealisasikan semua peraturan dan Qanun Aceh.
Ketentuan Pasal 5 Qanun Aceh Nomor 6 menyatakan Qanun berlaku; a. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimah di Aceh; b. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayat; c. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini; dan d. Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh. Pasal 5 di atas mengindikasikan penggabungan beberapa keberlakuan hukum yaitu asas subjektifitas yang menyebutkan setiap orang beragama Islam, asas teritorial dengan ungkapan melakukan Jarimah di Aceh dan asas objektifitas dengan ungkapan setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP.Â
KESIMPULAN
Ungkapan Taqnin diartikan dengan proses legislasi. Kata legislasi berarti peraturan. Istilah legislasi secara khusus berarti pembentukan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Qanun. Kata legislasi digunakan untuk menyederhanakan istilah prosespembentukan peraturan.
Menurut Idris Mahmudy, Taqnin adalah penulisan hukum pidana Islam dalam bentuk bab dan pasal untuk dipedomani oleh hakim, jaksa, polisi dan petugas Wilayat al-Hisbah dalam penegakan hukum Islam. Menurutnya Taqnin merupakan istilah yang berkembang di dunia Islam dalam upaya merubah hukum Islam menjadi hukum positif. Menurut Moenawar A. Jalil menyatakan, Taqnin adalah upaya penulisan hukum pidana Islam yang dilaksanakan oleh lembaga legislatife bersama dengan eksekutif dalam rangka implementasi kewenangan yang diberikan oleh aturan perundang-undangan terkait.
Taqnn didefinisikan pula dengan pengundangan atau pembuatan Undang-undang. Materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih disebut hukum normatif. Ketika hukum fikih tersebut diundangkan oleh negara (DPRA bersama Pemerintah Aceh), maka fikih berubah bentuk menjadi hukum positif.
Ruang lingkup hukum Jinayat dan Jarimah menggunakan terma bahasa Arab seperti istilah Jarimah dan 'Uqubat. Istilah Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Qadzaf, Liwath dan Musahaqah tetap menggunakan terminologi bahasa Arab. Hal ini sebagai salah satu bentuk pembaharuan hukum dalam konteks keindonesian dan pembeda nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam. Â Ruang lingkup Qanun Aceh Nomor 6 tentang Hukum Jinayat, memuat pula ruang lingkup dan jenis Jarimah yang lebih rinci dan berkembang dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti penetapan Khalwat, Ikhtilath, Liwath dan Musahaqah sebagai perbuatan Jarimah. Hal ini dapat dinyatakan legislasi hukum Jinayat Aceh telah melakukan beberapa pengembangan dan pembaharuan hukum.
 Referensi
[1] Abdurraahman bin Sa'ad 'Ali Syatary, Taqnin al-Syari'ah Baina al-Tahlil wa at-Tahrim, (Riyadh: Dar al-Fadhilah, 1426 H), hlm. 15-27.
[2] Jailani, Taqnin Hukum Pidana Islam (Studi Legislasi Hukum Di Aceh), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2016, hlm. 165.
[3] Jailani, Taqnin Hukum Pidana Islam ..., hlm. 165.
[4] Penetapan 10 Jenis Jarimah Hudud dan Ta'zir yang diatur dalam Qanun ini berbeda dengan Jarimah yang terdapat dalam referensi fikih.Qanun tidak menetapkan Jarimah Sirqah (Pencurian), Bughat (Pemberontakan), Hirabah (Gangguan terhadap kepentingan umum), sebagai Jarimah. Penetapan jenis Jarimah Hudud menurut pendapat para ulama dapat dikaji dalam kitab, Yunus 'Abdu Al-Qawy Al-Sayyid Al-Syafi'i, Al-Jarimah wa al-'Iqab fi al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H/ 2003 M), hlm. 7-20. Muhammad al-Baltajy, Al-Jinayah wa 'Uqubatuha fi Al-Islam wa Huquq al-Insan, (Mesir: Dar as-Salam, 1423 H/ 2003 M), hlm. 19-49.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H