Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Merliana, Sosok yang Melarang Adzan di Tanjung Balai?

2 Agustus 2016   08:27 Diperbarui: 2 Agustus 2016   16:05 5981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM), Dailami menuturkan, bahwa sudah sejak lama Merliana melakukan protes terhadap suara yang keluar dari pelantang masjid. “Terakhir, 5 hari sebelum kerusuhan dia (Meriana, red) menyampaikan keberatannya soal suara dari masjid,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Tanjungbalai, Senin (01/08/2016).

Namun setelah melaksanakan sholat maghrib pada Jum’at (29/07), dirinya bersama seorang pengurus masjid lain bernama Haristua Marpaung memutuskan untuk mendatangi rumah Merliana yang berada persis di depan Masjid Al-Makshum, guna menanyakan ihwal kebaratannya tersebut. Namun, kata Dailami, setelah membuka pintu, Meriana justru menjawab pertanyaan dirinya dan Haristua dengan nada yang dinilai menantang.

“Itu bising kami terganggu. Kau tahu! Pekak telingaku dengar suara dari corong tu, tak tentram aku,” ucapnya dengan logat Medan menirukan Merliana. Sejurus kemudian, sambungnya, ikut keluar juga dari rumah Meriana, anak laki-laki dan suaminya.

“Anaknya juga menantang. Kalau suaminya dia justru minta maaf,” diakui Dailami.

Ia mengungkapkan, cekcok tersebut cukup mengundang kemarahan jamaah. Bahkan, kata dia, sampai pak Zul (penggilan salah seorang pengurus masjid yang dituakan dan dikenal pendiam) juga ikut kesal dengan perkataan Merliana hingga mengeluarkan kata-kata makian. Kejadian itu, tambah Dailami, sekaligus menyulut keramaian warga yang juga dikarenakan posisi tempat mereka adu mulut berada tepat di pinggir jalan.

*****

Kronologis kejadian diatas sebenarnya sudah sangat cepat bisa diambil kesimpulan bahwa asal muasal kejadian kerusuhan adalah hilangnya kearifan lokal yang sudah terbangun sekian lama, semenjak teknologi speaker menggantikan peran beduk di masjid-masjid atau mushala. Speaker telah menguat peran suara melalui hantaran volume yang sekiranya bisa merambah hingga radius ratusan meter untuk mengingatkan bahwa waktu shalat telah tiba. Komponen masyarakat di seantero nusantara pun sudah mahfum adzan adalah panggilan lima waktu sehari yang mesti dikumandangkan.

Ungkapan ngawur dari beberapa kompasianer yang mengatakan adzan mengganggu adalah ungkapan kegelisahan menyaksikan adanya rasa saling menerima perbedaan antara umat beragama. 

Penulis ingin membagi sebuah suasana yang terbangun saat mudik kemaren dimana saat jamaah di masjid tengah khusyuk berdentang lonceng gereja yang berbunyi setiap pagi hari (waktu shalat dhuha), tengah hari saat dzuhur dan sore hari di waktu maghrib. Lantunan ayat suci yang dibacakan imam shalat ditimpuki suara lonceng. Dan asal tahu, kegiatan membunyikan lonceng ini adalah sesuatu kegiatan yang baru-baru saja dilakukan oleh pengelola peribadatan di gereja di desa kami. Sejauh ini kami bisa menerima "kegiatan baru" tersebut, Semua baik-baik saja.

Upaya dari suami Merliana memimta maaf menunjukkan betapa perangai isteri dan anaknya adalah perangai buruk tak beretika. Mempermasalahkan suara yang seharusnya sudah mereka lazimi sebagai rutinitas harian yang akan didengarkan. Yang tidak lazim adalah provokasi sesama etnis cina di Kompasiana yang seperti membenarkan perangai buruk tersebut dengan mengatakan adzan mengganggu. Mohon maaf jika penulis membuat asumsi betapa perangai pemerintah tanah leluhur mereka yang melarang adzan berkumandang di negeri mereka dan sekaligus mengancam muslim yang ingin menjalankan syariat islam seperti berpuasa dan memelihara jenggot di sana mengalir sampai ke Indonesia.

Tudingan bahwa adanya infiltrasi pemerintahan cina melalui sosok-sosok manusia seperti Merliana dan seorang Kompasianer yang memiliki derajat verifikasi berwarna biru dapat diterima kebenarannya. 

Bangunan sebuah nilai-nilai keberagaman yang terbukti dengan begitu banyaknya vihara dan kelenteng di Tanjung Balai berdampingan dengan beberapa tempat peribadatan agama lain adalah fakta Indonesiana. Kekonyolan dari mereka yang kadung marah dan mengamuk saat mendapatkan provokasi adanya warga beretnis cina yang marah adzan dikumandangkan dengan menyasar vihara dan kelenteng menunjukkan adanya sinisme dan resistensi yang mulai terbangun di antara warga pribumi kepada etnis cina. Tempat peribadatan yang terbakar memang terasosiasi kepada etnis cina dan padahal yang bermasalah adalah etnis cina dan bukan keyakinan dan agama yang mereka anut. 

Untuk itu, terutama kepada Kompasianer beretnis cina agar menyumbangkan nilai-nilai positif di blog ini, apalagi diantara kalian sudah terlanjur membangunan citra positif seperti bapak tua yang bijak bestari, penulis opini terbaik, non pribumi yang nilai-nilai nasionalisnya katanya bahkan melebihi kami yang pribumi. Bangunlah kesadaran yang tinggi bahwa menjadi Indonesia asli tidak perlu harus jadi gubernur eh maaf ngelantur.

Sadarkan encik-encik yang memiliki potensi negatif seperti Merliana, sadarkan mereka bahwa dimana bumi di pijak disana langit dijunjung. Korupsi di Indonesia jangan bawa ke cina ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun