Hakim Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, berkeinginan untuk memvonis mati seorang koruptor. Masalahnya, belum ada terdakwa koruptor yang kesalahannya dapat diganjar hukuman mati. "Bahkan, tidak ada yang mendekati," kata dia ketika ditemui Tempo di kantornya akhir Desember lalu.
Masalah lainnya, menurut Artidjo, yakni konstruksi hukum di Indonesia tidak pas. Khususnya konstruksi hukum yang menyangkut pasal korupsi. "Dibuatnya setengah hati," ujar pria asal Situbondo, Jawa Timur, itu.
Artidjo mengatakan, klausul hukuman mati seorang koruptor dihubungkan dengan faktor lain di luar hukum. Faktor bencana alam misalnya. Koruptor, menurut dia, baru bisa diganjar hukuman mati jika mengkorupsi anggaran penanggulangan bencana alam. "Lha, itu kan jarang. Konstruksi hukumnya salah," ucap dia.
Sumber www.tempo.cc
****
Begitulah Indonesia. Koruptor tidak dan belum dinyatakan sebagai bagian dari pelaku terorisme. Kejahatan mereka -meskipun- termasuk dalam extra ordinary crime  belum mendapatkan perlakukan yang 'sewajarnya' dari negara.
Walaupun ekspresi yang diberikan sama yakni saat tertangkap dan dalam posisi tidak mampu lagi melakukan tindakan yang dinyatakan sebagai tindakan kejahatan. Tersenyum dan merasakan kebahagian yang mendalam. Begitu yang dapat ditangkap secara kasat mata.
Lihatlah Lutfi Hasan Ishaaq, Atut Chosiyah, Agusrin Najamuddin , Akil Muchtar, Miranda Goeltom dan saat Imam Samudera, Amrozi serta Mukhlas. Mereka betul-betul menampilkan sosok penjahat secara ideologis. Senyuman dan kebahagiaan saat ditangkap aparat menunjukkan motivasi atas apa yang telah mereka lakukan.
Penjahat ideologis?
Apakah layak dan patut label ini diberikan kepada Miranda Goeltom cs? Apakah korupsi menjadi sebuah ideologi baru yang bertentangan dengan semangat kebangsaan?
*****