Teve-teve swasta berebutan antusiasme pemirsa menjelang pemilu, baik legislatif atau presiden. Slot-slot acara yang di kemas pada hari ini lebih banyak diisi oleh perihal debat dan lawan bicara antara caleg incumbent atau new rookie.
Konyol dan menggelikan. Mereka berebut pesona dan saling bermain kata.
Keinginan untuk duduk di kursi legislatif ternyata mahal, padahal hanya bertugas membuat undang-undang, menyusun anggaran dan pengawasan. Entah motif apa dikepala para calon tersebut bersemayam hingga mau-maunya menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah.
“Tapi kalau sudah dikenal orang, misalkan Ruhut Sitompol (politikus Partai Demokrat), itu bisa lebih murah,” ungkapnya. Bagaimana tanggapan Pramono Anung yang mengangkat penelitian mengenai biaya politik dalam disertasi doktornya? “Jika sistemnya masih sama, proporsional terbuka, maka biayanya akan terus meningkat. Itu sulit dihindari,” ungkap mantan Sekjen DPP PDIP ini di Jakarta kemarin. Dalam penelitian disertasi doktor Pramono berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen”, biaya yang dikeluarkan caleg pada Pemilu 2009 lalu jika diambil rata-ratanya sebesar Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar.
Uedaannn!!!
Politik transaksional semacam ini hanya menghasilkan situasi pragmatis. Saya membayar Anda dan saya akan mendapatkan semuanya. Kurang lebih begitu.
Semenjak ambruknya hegemoni demokrasi pancasila dan mulai disisihkannya kekuasaan terpusat (baca: Soehartosentris) dan mulai menggeliatnya 'kesultanan-kesultanan' kecil dan berbagi secara proporsional semisalnya kroni berlatar belakang kelompok atau partisan maka kekayaan Indonesia yang luar biasa ini menjadi obyek arisan antar kader, antar partai, antar komisi, antar fraksi dan ditimpuki oleh keblingernya para eksekutif. Indonesia bak sesajen tumpeng, semua syaithan berlomba-lomba meraup makanan yang tersajikan.
Menelisik arti dana kampanye hingga milyaran tanpa secuilpun keinginan untuk meraih kembali modal awal plus margin serasa hidup di negeri impian. Manalah mungkin mereka yang sudah mengeluarkan jurus tebar duit terlebih dahulu tidak mematok berapa banyak duit harus kembali.
Lalu apakah betul-betul demikian kronisnya politik Indonesia saat ini?
Jokowi dan Ahok yang digadang-gadang oleh para loversnya pun keok dikancah politik praktis Jakarta. Monorail mangkrak karena panyandang dana melihat tipisnya margin yang akan didapatkan meskipun telah dengan sungguh-sungguh 'melahirkan' pesona Jokowi. Transjakarta yang karatan dan terindikasi adanya mark up dari harga jual bis eks Cina tersebut.
Senyawa Trias Corruptica tidak bisa hilang dengan taji dan kampanye Jokowi yang bersih. Selama operasional pemerintah harus melewati tiga anasir ini maka klaim-klaim utopis dari Jokowi Lovers hanyalah sekedar utopia belaka.
Potret DKI Jakarta diatas menjadi refleksi Indonesia seterusnya. Siapapun presiden-nya jika anasir-anasir pragmatisme dan konco-isme kental berkelindan ditengah-tengah dinamika Indonesia maka yang terjadi adalah memperkaya diri sendiri, kroni dan sistemik. Betapapun KPK diperkuat dan ditajuki sebagai superbody.
Embrio korupsi itu sejatinya mulai hadir saat caleg mulai mengeluarkan duit untuk kampanye, mahar sekian milyar untuk menjabat di eksekutif dan carut marutnya moralitas para pemegang palu keadilan.
****
"Untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana sebesar Rp3 miliar sampai Rp5 miliar. Itu membuat caleg saat menjadi DPR ingin mencari dana pengganti modal yang telah dikeluarkannya," tegas Ketua DPP Persatuan Pembangunan Pembangunan (PPP) M Sholeh Amin di Jakarta, Rabu (20/3).
Wah wah wah,.....
http://www.koran-sindo.com/node/310588
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H