Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjelang April Mop: Saweran Hingga 2 Milyar

25 Februari 2014   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teve-teve swasta berebutan antusiasme pemirsa menjelang pemilu, baik legislatif atau presiden. Slot-slot acara yang di kemas pada hari ini lebih banyak diisi oleh perihal debat dan lawan bicara antara caleg incumbent atau new rookie.

Konyol dan menggelikan. Mereka berebut pesona dan saling bermain kata.

Keinginan untuk duduk di kursi legislatif ternyata mahal, padahal hanya bertugas membuat undang-undang, menyusun anggaran dan pengawasan. Entah motif apa dikepala para calon tersebut bersemayam hingga mau-maunya menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah.

Tapi kalau sudah dikenal orang, misalkan Ruhut Sitompol (politikus Partai Demokrat), itu bisa lebih murah,” ungkapnya. Bagaimana tanggapan Pramono Anung yang mengangkat penelitian mengenai biaya politik dalam disertasi doktornya? “Jika sistemnya masih sama, proporsional terbuka, maka biayanya akan terus meningkat. Itu sulit dihindari,” ungkap mantan Sekjen DPP PDIP ini di Jakarta kemarin. Dalam penelitian disertasi doktor Pramono berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen”, biaya yang dikeluarkan caleg pada Pemilu 2009 lalu jika diambil rata-ratanya sebesar Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar.

Uedaannn!!!

Politik transaksional semacam ini hanya menghasilkan situasi pragmatis. Saya membayar Anda dan saya akan mendapatkan semuanya. Kurang lebih begitu.

Semenjak ambruknya hegemoni demokrasi pancasila dan mulai disisihkannya kekuasaan terpusat (baca: Soehartosentris) dan mulai menggeliatnya 'kesultanan-kesultanan' kecil dan berbagi secara proporsional semisalnya kroni berlatar belakang kelompok atau partisan maka kekayaan Indonesia yang luar biasa ini menjadi obyek arisan antar kader, antar partai, antar komisi, antar fraksi dan ditimpuki oleh keblingernya para eksekutif. Indonesia bak sesajen tumpeng, semua syaithan berlomba-lomba meraup makanan yang tersajikan.

Menelisik arti dana kampanye hingga milyaran tanpa secuilpun keinginan untuk meraih kembali modal awal plus margin serasa hidup di negeri impian. Manalah mungkin mereka yang sudah mengeluarkan jurus tebar duit terlebih dahulu tidak mematok berapa banyak duit harus kembali.

Lalu apakah betul-betul demikian kronisnya politik Indonesia saat ini?

Jokowi dan Ahok yang digadang-gadang oleh para loversnya pun keok dikancah politik praktis Jakarta. Monorail mangkrak karena panyandang dana melihat tipisnya margin yang akan didapatkan meskipun telah dengan sungguh-sungguh 'melahirkan' pesona Jokowi. Transjakarta yang karatan dan terindikasi adanya mark up dari harga jual bis eks Cina tersebut.

Senyawa Trias Corruptica tidak bisa hilang dengan taji dan kampanye Jokowi yang bersih. Selama operasional pemerintah harus melewati tiga anasir ini maka klaim-klaim utopis dari Jokowi Lovers hanyalah sekedar utopia belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun