Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Antara Ignatius Jonan, KAI dan Mushala yang Tidak Representatif

6 Oktober 2014   16:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:12 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai

Assalamu’alaykum pak/bu. Saya Reni Anggraeni. Mahasiswa. Muslimah. Pengguna setia commuter line. Manusia yang menghabiskan hampir 25 menit dari waktunya untuk mengantre agar bisa sholat maghrib di mushollah mini stasiun Manggarai.  Saya seorang commuter juga. Berdomisili di Depok namun kuliah di Jakarta.

Saya yang selalu mengikuti perubahan kondisi fisik dari stasiun Manggarai. Mulai dari tahun 2012 saya mulai menjadi anak kereta. Pada saat itu pedagang kaki lima masih diperbolehkan untuk menjajakan dagangannya di dalam stasiun, peron pada khususnya.

Kondisi mushollah pada saat itu hanya seukuran kamar anak kost berbiaya Rp 300 ribu per  bulan, dan itu pun dibagi dua antara laki-laki dan perempuannya serta di samping mushollah tersebut terdapat kamar mandi. Tidak layak sebenarnya jika bangunan itu dijadikan tempat sholat.

***

Demikian kutipan dari sebuah surat yang dituliskan kepada Kepala sebuah stasiun KA di Jakarta. Surat yang menguraikan sebuah keprihatinan atas sudut pandang KAI dalam masalah yang kerap terabaikan.

Dengan menyebutkan dirinya juga sebagai seorang commuter  (sebutan bagi para penumpang setia KRL), mahasiswi ini menjelaskan betapa perubahan fisik dari sekian banyak bentuk yang bertransformasi, dimulai dari pelarangan pedagang kaki lima dan menjelma bak mini mall (sebagai ekspresi betapa saat ini stasiun KA sudah berjejer booth-booth atau outlet seperti Starbuck, Seven Eleven, KFC dan beberapa nama waralaba lainnya).

Perubahan tersebut sejatinya telah memanjakan para calon penumpang atau penumpang yang 'tersandera' oleh aktifitas diluar rumah sehingga tidak perlu dipusingkan lagi dengan upaya mengganjal perut atau menambal sementara rasa dahaga sebelum sampai di kediaman masing-masing.

Namun seringkali hal-hal yang urgent dan penting untuk dilihat seperti fasilitas sosial atau ibadah yang kerap terposisikan di sudut kelopak mata. Perubahan dari kumuh menjadi modern dan bergaya urban tidak serta merta membuat para muslim yang menyandang commuter people mendapatkan hak-haknya untuk bisa menunaikan kewajibannya.

Ibadah sholat maghrib adalah waktu yang sangat pendek dan telah menjadi momen rutin dimana terperangkapnya mereka ditengah-tengah kesibukan di area stasiun. Dan dengan ukuran mini yang hanya bisa menampung 20 jamaah akan menyebabkan antrian yang lebih panjang ketimbang antrian pada loket pembelian tiket.

Keluhan yang merutuki betapa Ignatius Jonan terlihat lebay dan berlebihan adalah efek tumpukan dan tumpang tindihnya pemberian ijin kepada sejumlah waralaba. Seperti yang diungkapkan oleh mahasiswi tersebut.

"Apa gunanya Roti O, dan starbuck ada jika sama-sama menjual kopi dan roti? Padahal kopi dan roti itu kita bisa dapatkan di Indomaret ataupun Sevel? Apa gunanya KFC ada jika Sevel ada? Padahal sama-sama menjual nasi dan ayam goreng?

Kenapa pengelola stasiun Manggarai tidak memperhatikan pemugaran mushollahnya? Tahu kah kawan, stasiun Manggarai selalu dikunjungi oleh ratusan bahkan ribuan orang setiap maghribnya, entah itu yang mau pulang ke arah Bogor, Bekasi, Tangerang, Jatinegara ataupun Jakarta Kota."

Keluhan yang sangat kritis dan rasional, sehingga mengurung Jonan untuk segera menjawab pertanyaan tersebut. Mengapa untuk produk-produk yang sedemikian rupa bisa over branding dan menafikan kemungkinan untuk memugar bangunan mushala yang representatif (baca: mencukupi untuk ratusan jamaah shalat sehingga tidak perlu kehabisan waktu shalatnya).

Penulis sendiri tidak berusaha menggiring masalah ini kepada area privat seorang Ignatius Jonan, akan tetapi menjelaskan kepada pembaca betapa para figur yang disukai oleh beberapa elit parpol saat ini memang mengarah kepada kehidupan yang sekular dan liberal.

Betapa sejumlah mall-mall telah mereformasi pandangan mereka kepada pelanggan yang mayoritas beragama islam. Terlihat sebuah mall yang penulis kunjungi kemarin menyediakan mushala yang sangat mewah sekaligus lapang sehingga bisa memuat bahkan 100 orang jamaah. Interior yang kurang lebih sama sebangun dalam desain dengan bangunan intinya memberikan gambaran yang apresiatif. Pihak managemen meyakini betul pangsa mereka adalah kaum mayoritas.

Jonan sebaiknya juga memiliki persepsi yang sama dengan pihak pengelola sejumlah mall-mall tersebut. Menafikan kaum muslim sejatinya meruntuhkan ekspektasi publik sekaligus menjadi pintu masuk dirut KAI ini untuk menggali lubang kubur bagi karir yang sedang dia rintis saat ini.

Semoga Seorang Ignatius Jonan terbangun segera!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun