Mohon tunggu...
Imaduddin Abdurrahman
Imaduddin Abdurrahman Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Socius-Logos

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Buku: Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

30 Oktober 2020   21:25 Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:30 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. PROFIL BUKU

Judul                : Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Penulis            : Neng Dara Affiah

Penerbit         : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Cetakan          : Jakarta, Desember 2017

Tebal               : 200 Halaman

ISBN                : 978-602-433-555-7

II. PROFIL PENULIS

Neng Dara Affiah, lahir di Pandeglang, Banten, 10 Desember 1969. Menjadi pengajar tetap di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) pada program sosiologi dan humaniora, juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas, seperti pascasarjana Universitas Indonesia, pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ). Ia menyunting dan menulis sejumlah buku, diantaranya Rekam Juang Komnas Perempuan: 16 Tahun Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 2014); Seksualitas dan Demokrasi: Kasus Perdebatan UU Pornografi di Indonesia (Komnas Perempuan, 2011); Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas (2009); Gerakan Islam Indonesia Pasca Orde Baru: Merambah Dimensi Baru Islam (2006) dan Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran (2005).

III. ISI BUKU

Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas adalah kompilasi dari beragam tulisan (buku-buku, jurnal, dan surat kabar) yang ditulis dalam rentang waktu 1998-2016. Tulisan dan pemikiran yang penulis curahkan dalam buku ini merupakan bentuk respon terhadap isu sosial tertentu, terutama yang berkaitan dengan hak-hak perempuan. Buku ini sendiri berisikan tiga bab. Bab I: Islam dan kepemimpinan Perempuan; Bab II: Islam dan Seksualitas Perempuan; Bab 3: Perempuan, Islam dan Negara.

BAB I: Islam dan Kepemimpinan Perempuan

Pada Bab 1, penulis memulai dengan membahas topik kepemimpinan perempuan, dimana dijelaskan bahwa ada perdebatan yang muncul antara pihak yang mendukung terhadap kepemimpinan perempuan dalam suatu kedudukan dan kemerdekaan atas dirinya sendiri, serta pihak yang menolak/kontra terhadap pemberian kursi kepemimpinan kepada kaum perempuan. Dalam lingkup masyarakat Islam sendiri, pihak yang kontra terhadap kepemipinan perempuan menyandarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur'an, yakni QS. An-Nisa ayat 34. Kata "qowwam" pada ayat tersebut menjadi pengkal perdebatan. Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai penanggung jawab, memiliki kekuasaan untuk mendidik perempuan, pemimpin, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Hasil dari pemaknaan tersebut menjadikan perempuan berada pada posisi yang inferior jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan pihak yang mendukung kepemimpinan perempuan melihat dari sudut pandang yang berbeda, dimana pernyataan tersebut dinilai bersifat kontekstual dan bukan normatif, karena menurut Asghar Ali Engineer hal itu sesungguhnya merupakan realitas sejarah dimana pada masa itu kaum perempuan derajatnya diangap rendah dan wajib mengerjakan pekerjaan domestik.

Islam pada dasarnya tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, namun jika kita lihat pemimpin di kalangan umat Islam jumlahnya masih relatif sedikit. Salah satu faktor penyebabnya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Selain itu, ego kolektif masyarakat muslim yang cenderung melanggengkan patriarki menjadi sebab lainnya mengapa pemimpin dari kalangan perempuan masih sedikit jumlahnya. Jika melihat konteks tersebut pada negara Indonesia, maka hal itu bisa terlihat cukup jelas. Penulis menggambarkan persoalan ini dengan menuliskan sosok Megawati Soekarnoputri. Megawati pernah ditolak pada saat mencalonkan diri untuk menjadi presiden RI, dan penolakan itu muncul dari beberapa ulama dan organisasi keislaman dengan menyatakan bahwa islam melarang dan bahkan mengharamkan seorang perempuan untuk menjadi khalifah atau pemimpin suatu bangsa. Pernyataan tersebut didasarkan pada QS An-Nisa ayat 34 pada kata "qowwam". Penulis mengkritik hal tersebut, menurut penulis sebuah kata akan bergeser maknanya sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Maka dari itu, perlu diketahui makna dari kata tersebut apakah masih relevan jika dikaitkan dengan kepemimpinan diluar dari konteks pengaturan suami kepada istri dalam rumah tangga.

BAB II: Islam dan Seksualitas Perempuan

Pada bab ini, penulis menyajikan tulisan mengenai perkawinan dalam pandangan agama-agama (Islam, Kristen dan Yahudi). Fungsi  pertama dari perkawinan menurut tafsir ketiga agama itu adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia, namun perempuan cenderung ditempatkan pada ranah domestik dan keberadaannya serta perannya terbatas sebagai ibu dan istri (tidak merdeka akan dirinya sendiri). Fungsi kedua adalah melahirkan keturunan, baik bersifat biologis maupun juga untuk kepentingan pewarisan ajaran agama. Namun, adanya tuntutan untuk bisa melahirkan keturunan untuk meneruskan ajaran agama menjadikan tidak sedikit prempuan yang diperlakukan sebagai "penghasil anak" tanpa mempertimbangakn keadaan fisik dan mental dari perempuan tersebut. Selain itu, jika tidak mampu melahirkan keturunan (mengalami kemandulan), maka perempuan akan dianggap tidak berguna dan mendapatkan cibiran. Fungsi ketiga adalah menghindari praktik zina, agama-agama melarang zina dan untuk menghindari hal tersebut maka umatnya dianjurkan untuk menikah/melakukan perkawinan.

Kemudian dalam bahasan mengenai poligami, bahwa Poligami diartikan sebagai praktik perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Dalam islam sendiri poligami dilegalkan dan terdapat dalam QS An-Nisa ayat 3. Poligami sendiri merupakan tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala dalam peradaban Arab pra-Islam, setelah hadirnya Islam poligami tidaklah dihapuskan namun dibatasi dengan peringatan dan pembatasan yang sangat ketat. Pertama, pembatasan jumlah. Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu keadilan. Ayat tentang poligami sendiri turun pada tahun 5 Hijriyah/625 Masehi, dimana saat itu umat islam sedang mengalami kesulitan, yakni kalah dalam perang Uhud. Akibat dari hal tersebut, banyak prajurit muslim yang gugur dan meninggalkan istri serta anak-anaknya yang kemudian menjadi janda dan anak-anak yatim. Oleh karena situasi itulah, Al-Qur'an menawarkan pemecahan masalah itu dengan mendorong laki-laki untuk menikahi para janda tersebut dengan tidak lebih dari 4 orang. Namun di masa sekarang, nampaknya tujuan dari poligami itu telah banyak berubah. Kini, kebanyakan -meski tidak semua- motif utama dari laki-laki melakukan poligami adalah: 

  1. Keserakahan seksual (biasanya istri kedua dan berikutnya cenderung lebih muda). 
  2. Struktur masyarakat yang feodal (perempuan dikawinkan kepada bangsawan atau rohaniawan agar status sosialnya terangkat dalam masyarakat). 
  3. Motif ekonomi (berhubungan dengan kemiskinan yang banyak dialami perempuan).

Jilbab berfungsi untuk menutup aurat perempuan. Jilbab adalah sehelai kain yang menutup kepala dan dada, kain itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak mencerminkan kualitas moral dan keimanan seseorang. Jilbab adalah bentuk tawaran dan solusi Al-Qur'an untuk menghindari kemungkinan tindakan pelecehan terhadap perempuan. Di Indonesia sendiri, penggunaan jilbab oleh perempuan seiring dengan revolusi Iran pada 1979, yang menginspirasi lahirnya berbagai kelompok studi, pengajian, firqoh-firqoh dan harakah-harakah yang mengkaji islam dari berbagai aspek. Namun pada perkembangan kemudian, jilbab "dipolitisasi" demi kepentingan politik dalam meraih suara demi mendapat jabatan. Jilbab dipakai sebagai alat untuk menampilkan citra diri politikus kepada masyarakat awam agar mendapat kesan islami dan salihah.

Bab III: Perempuan, Islam dan Negara

Penulis menyajikan bab ini dengan pembahasan mengenai feminisme dalam islam, perkembangan feminisme di Indonesia, sejarah aktivis feminis, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi islam dalam menuntut dan menegakkan hak-hak dasar perempuan. Dalam buku ini, penulis menjelaskan bahwa feminisme dalam islam sendiri adalah suatu teori yang menjembatani kensenjangan antara konsepsi keadilan yang mempengaruhi penafsiran terhadap hukum syariah di satu sisi, dan hak asasi manusia (HAM) disisi yang lainnya. Perkembangan gerakan feminisme Islam di Indonesia mulai masif pada tahun 1990an. Pada perkembangan selanjutnya banyak muncul organisasi Islam yang ikut serta dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan sebagai wujud dari gerakan feminisme, seperti organisasi Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakspesdam NU) di Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di wilayah Yogyakarta dalam lingkungan kultur Nahdlatul Ulama, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, serta Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dalam kultur keagamaan Muhammadiyah. Organiasi-organisasi tersebut mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja organisasi islam yang bersifat progresif di Indonesia.

Gerakan Perempuan Dalam Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, penulis memberikan contoh dalam kongres Perempuan pada tahun 1928, terdapat organisasi Walfadjri melontarkan pemikiran tentang perlunya pembaruan hukum perkawinan dalam Islam seperti hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, dan perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dsb. Selain itu pada waktu yang sama, Agus Salim dalam Kongres JIB pada tahun 1925 menyatakan bahwa masyarakat islam punya kecenderungan untuk memisahkan perempuan di wilayah publik. Hal seperti itu menurutnya adalah tradisi Arab, dan bukan ajaran islam sehingga masyarakat perlu untuk secara benar memahami islam secara benar dan utuh. Dalam sub-bab ini juga penulis menjelaskan tentang bagaimana perubahan sosial menjadi kebijakan negara, seperti peraturan bernuansa islami yang ada di daerah-daerah, contohnya kewajiban untuk menggunakan jilbab.

Marginalisasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Kelompok Agama Minoritas sebagai Tantangan Gerakan Perempuan, digambarkan oleh penulis dengan apa yang terjadi pada perempuan dalam kelompok Ahmadiyah. Mereka mengalami sejumlah bentuk kekerasan, seperti kekerasan seksual, pengucilan, penurunan kesehatan dan gangguan mental, kehilangan akses ekonomi, kehilangan haknya untuk berkeluarga, bahkan hingga kehilangan status sebagai warga negara. Selain terhadap perempuan, anak-anak dalam kelompok Amadiyah juga mengalami marginalisasi seperti munculnya kebencian terhadap mereka dan diskriminasi dalam pendidikan yang dapat menimbulkan trauma bagi anak-anak tersebut.

Patriarki dan Sektarian: Wajah Dakwah Dalam Komunitas Islam, penulis membahas mengenai potret komunitas, dimana  komunitas ini terbentuk atas adanya dorongan/motivasi seperti: dorongan mempelajari pengetahuan islam, sebagai bentuk pengamalan ajaran islam, dan juga dalam rangka membangun kolektivitas, kohesivitas, solidaritas dan komunitas. Lalu penulis juga menjelaskan bagaimana cara untuk memperkecil isi dakwah-dakwah agar tidak sektarian serta memiliki kepekaaan terhadap gender. Hal itu dilakukan dengan membekali dai dan pemuka agama dengan pengetahuan analisis gender, membuka dialog dengan agama lain sebagai upaya saling memberikan padangan dan pendapat, serta memiliki pemikiran progresif menuju ke arah yang lebih baik.

Lalu dalam topik Organisasi Kekerasan dan Teror Rahim, penulis menghadirkan sudut pandang yang menarik, yakni perbincangannya dengan sang adik, Nong Darol Mahmada.  Dalam perbincangan tersebut penulis mengatakan pada adiknya bahwa ia tidak sanggup melihat organisasi masyarakat yang selalu melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Misalnya seperti meneriakkan Takbir tetapi dengan wajah yang beringas dan merusak tempat-tempat yang mereka anggap haram. Selain itu, penulis juga menyayangkan oknum ormas ini selalu menggunakan baju koko atau jubah putih dan bersorban dimana tindakannya tidak mencerminkan pakaian islami yang dikenakan. Lalu juga sikap pemerintah terhadap perilaku oknum ormas tersebut tidak menunjukkan adanya ketegasan.

Peran Pria dalam Perjuangan Perempuan. Dalam agenda memperjuangkan hak-hak perempuan, tidak sedikit laki-laki yang juga ikut memperjuangkan hak tersebut. Sebut saja Haji Agus Salim dengan pidatonya dalam Kongres Jong Islamieten Bond (JIB), Ir. Soekarno, Mansour Faqih (yang mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender), dan tokoh-tokoh lainnya. Selain daripada toko-tokoh tersebut, ada juga organisasi seperti Aliansi Laki-laki Baru yang berisi sejumlah pria yang berkomitmen untuk mendukung gerakan perempuan baik secara politik maupun sosial (khususnya terhadap ketidakadilan gender dan kekerasan perempuan).

Keperawanan (Virginitas) Dalam Perspektif Islam, dijelaskan pada tiga perspektif yakni status seorang perempuan (sudah kawin atau janda), berhubungan dengan usaha menghindari praktek seksual sebelum nikah, dan konsturksi "harga" bagi seorang perempuan. Dalam masyarakat yang tertanam erat prinsip patriarki,  biasanya cenderung memilih perempuan karena selaput daranya yang masih utuh (masih perawan) ketimbang tertarik terhadap kepribadian, keilmuan, ataupun berbagai hal lain yang mencerminkan kemanusiaan seorang perempuan secara utuh.

Inses (Incest) merupakan praktik seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarganya sendiri. Misal ayah terhadap anaknya, anak terhadap ibunya, dsb. Perilaku inses ini muncul karena adanya dorongan neorotik pada diri seseorang, dan terjadi karena adanyaa tekanan-tekanan psikologis dan sosial ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam perspektif agama-agama sendiri, ada larangan terhadap perilaku inses ini. Dalam Islam, telah dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 23 bahwa dilarang bagi laki-laki untuk mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, mertua perempuan, saudara sepersusuan, bibi, keponakan perempuan dalam hubungan sepersusuan dan seterusnya. Sementara dalam agama Yahudi, dilarang bagi para laki-laki untuk mengawini para perempuan dalam empat generasi keluarga. Jika larangan tersebut diabaikan, maka pelakunya memperoleh hukuman berat hingga pembunuhan (Blu Greenberg: 1990).

Kesimpulan/Penutup

Akhir kata, penulis memberikan pandangannya bahwa hak-hak perempuan adalah setara dengan laki-laki, begitu juga dengan hak menjadi pemimpin. Perempuan, apalagi dewasa ini sudah mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk menjadi seorang pemimpin. Oleh karena itu, tindakan diskrimintaif terhadap hak-hak perempuan haruslah dihilangkan, karena hal itu tidak menunjukkan keadilan dalam kehidupan manusia. Selain itu stigma perempuan berada pada kasta kedua tidak bisa dibenarkan, karena pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama dan kedudukan yang setara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun