Marginalisasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Kelompok Agama Minoritas sebagai Tantangan Gerakan Perempuan, digambarkan oleh penulis dengan apa yang terjadi pada perempuan dalam kelompok Ahmadiyah. Mereka mengalami sejumlah bentuk kekerasan, seperti kekerasan seksual, pengucilan, penurunan kesehatan dan gangguan mental, kehilangan akses ekonomi, kehilangan haknya untuk berkeluarga, bahkan hingga kehilangan status sebagai warga negara. Selain terhadap perempuan, anak-anak dalam kelompok Amadiyah juga mengalami marginalisasi seperti munculnya kebencian terhadap mereka dan diskriminasi dalam pendidikan yang dapat menimbulkan trauma bagi anak-anak tersebut.
Patriarki dan Sektarian: Wajah Dakwah Dalam Komunitas Islam, penulis membahas mengenai potret komunitas, dimana  komunitas ini terbentuk atas adanya dorongan/motivasi seperti: dorongan mempelajari pengetahuan islam, sebagai bentuk pengamalan ajaran islam, dan juga dalam rangka membangun kolektivitas, kohesivitas, solidaritas dan komunitas. Lalu penulis juga menjelaskan bagaimana cara untuk memperkecil isi dakwah-dakwah agar tidak sektarian serta memiliki kepekaaan terhadap gender. Hal itu dilakukan dengan membekali dai dan pemuka agama dengan pengetahuan analisis gender, membuka dialog dengan agama lain sebagai upaya saling memberikan padangan dan pendapat, serta memiliki pemikiran progresif menuju ke arah yang lebih baik.
Lalu dalam topik Organisasi Kekerasan dan Teror Rahim, penulis menghadirkan sudut pandang yang menarik, yakni perbincangannya dengan sang adik, Nong Darol Mahmada. Â Dalam perbincangan tersebut penulis mengatakan pada adiknya bahwa ia tidak sanggup melihat organisasi masyarakat yang selalu melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Misalnya seperti meneriakkan Takbir tetapi dengan wajah yang beringas dan merusak tempat-tempat yang mereka anggap haram. Selain itu, penulis juga menyayangkan oknum ormas ini selalu menggunakan baju koko atau jubah putih dan bersorban dimana tindakannya tidak mencerminkan pakaian islami yang dikenakan. Lalu juga sikap pemerintah terhadap perilaku oknum ormas tersebut tidak menunjukkan adanya ketegasan.
Peran Pria dalam Perjuangan Perempuan. Dalam agenda memperjuangkan hak-hak perempuan, tidak sedikit laki-laki yang juga ikut memperjuangkan hak tersebut. Sebut saja Haji Agus Salim dengan pidatonya dalam Kongres Jong Islamieten Bond (JIB), Ir. Soekarno, Mansour Faqih (yang mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender), dan tokoh-tokoh lainnya. Selain daripada toko-tokoh tersebut, ada juga organisasi seperti Aliansi Laki-laki Baru yang berisi sejumlah pria yang berkomitmen untuk mendukung gerakan perempuan baik secara politik maupun sosial (khususnya terhadap ketidakadilan gender dan kekerasan perempuan).
Keperawanan (Virginitas) Dalam Perspektif Islam, dijelaskan pada tiga perspektif yakni status seorang perempuan (sudah kawin atau janda), berhubungan dengan usaha menghindari praktek seksual sebelum nikah, dan konsturksi "harga" bagi seorang perempuan. Dalam masyarakat yang tertanam erat prinsip patriarki, Â biasanya cenderung memilih perempuan karena selaput daranya yang masih utuh (masih perawan) ketimbang tertarik terhadap kepribadian, keilmuan, ataupun berbagai hal lain yang mencerminkan kemanusiaan seorang perempuan secara utuh.
Inses (Incest) merupakan praktik seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarganya sendiri. Misal ayah terhadap anaknya, anak terhadap ibunya, dsb. Perilaku inses ini muncul karena adanya dorongan neorotik pada diri seseorang, dan terjadi karena adanyaa tekanan-tekanan psikologis dan sosial ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam perspektif agama-agama sendiri, ada larangan terhadap perilaku inses ini. Dalam Islam, telah dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 23 bahwa dilarang bagi laki-laki untuk mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, mertua perempuan, saudara sepersusuan, bibi, keponakan perempuan dalam hubungan sepersusuan dan seterusnya. Sementara dalam agama Yahudi, dilarang bagi para laki-laki untuk mengawini para perempuan dalam empat generasi keluarga. Jika larangan tersebut diabaikan, maka pelakunya memperoleh hukuman berat hingga pembunuhan (Blu Greenberg: 1990).
Kesimpulan/Penutup
Akhir kata, penulis memberikan pandangannya bahwa hak-hak perempuan adalah setara dengan laki-laki, begitu juga dengan hak menjadi pemimpin. Perempuan, apalagi dewasa ini sudah mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk menjadi seorang pemimpin. Oleh karena itu, tindakan diskrimintaif terhadap hak-hak perempuan haruslah dihilangkan, karena hal itu tidak menunjukkan keadilan dalam kehidupan manusia. Selain itu stigma perempuan berada pada kasta kedua tidak bisa dibenarkan, karena pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama dan kedudukan yang setara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H