Mohon tunggu...
I Made Suyasa
I Made Suyasa Mohon Tunggu... Jurnalis - Karyawan Swasta

Tinggal di Denpasar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hilangnya Budaya Malu

17 Maret 2022   08:58 Diperbarui: 17 Maret 2022   09:02 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat masih kuliah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saya pernah tidak lulus salah satu mata kuliah yang diikuti. Jadi harus mengulang dan tentu saja diwajibkan untuk membayar biaya kuliah lagi. Saya tidak lulus mata kuliah tersebut bukan karena sering bolos. Perkuliahan saya ikuti dengan baik. Hanya saja saya kesulitan memahami materinya, sehingga wajar tidak lulus.

"Tidak masalah ikut kuliah ulang, nanti Bapak siapkan biayanya. Lebih baik ikut kuliah ulang agar materi kuliahnya bisa dipahami dengan baik ketimbang mendapatkan nilai cuma-cuma dari dosennya, apalagi dengan cara menyuap. Malulah jika tidak jujur," demikian kata ayah saya waktu itu. Setelah mengikuti kuliah ulang, syukurlah saya bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan tentu saja dengan proses belajar yang sungguh-sungguh.

Saya bangga dengan orangtua saya, meskipun hanya seorang petani di desa, selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran. Biaya kuliah yang mahal, bukan dijadikan alasan untuk mengejar beasiswa, tapi bekerja dengan keras agar bisa membayar biaya kuliah dan biaya hidup selama tinggal di Kota Gudeg itu. Syukurlah, saya bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dan semua prosesnya saya ikuti dengan baik sehingga tidak bikin malu.

Seperti dikutip dari wikipedia.org, malu adalah salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya dan kemudian ingin ditutupinya. Penyandang rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.

Sebagai sebuah emosi dari manusia, tentu saja rasa malu menjadi sebuah benteng yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku dan tindakan seseorang. Tindakan dan perilaku dari seorang individu dapat mendatangkan konsekuensi pada diri manusia, salah satunya yaitu konsekuensi secara sosial atas tindakan dan perilaku individu. Konsekuensi tersebut berupa sanksi sosial yang akan diterima individu atas tindakan dan perilakunya. Sanksi sosial tersebut bisa berupa pujian, kritik bahkan celaan.

Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, tanpa kita sadari juga melunturkan budaya-budaya yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah budaya malu. Fenomena hilangnya budaya malu tentu membuat kita prihatin. Dalam persoalan ini, pendidikan sering disalahkan atas gagalnya tumbuhnya karakter-karakter yang baik pada diri seseorang.

Jika diperhatikan, salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu. Kasus oknum guru besar di salah satu perguruan tinggi yang tertangkap nyabu dengan mahasiswinya adalah salah satu potret buram di dunia pendidikan. 

Kasus lain, rekayasa kelulusan mahasiwa tanpa melalui proses yang wajar dengan cara mengakal-akali sistem di PDDikti dan melabrak aturan justru dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi dengan jabatan yang menentukan. 

Kasus oknum dosen yang jual beli skripsi, sudah bukan rahasia lagi. Lebih parah lagi, ada oknum yang pendidikannya tinggi kelakuannya masih seperti anak-anak, yakni suka menebar fitnah, melabrak aturan, menjatuhkan orang lain dan tidak memiliki integritas moral yang baik. Jika budaya malu itu ada, saya yakin kasus-kasus seperti itu tidak akan ada lagi.

Lebih malu lagi jika berkarier di dunia pendidikan, namun malah menghalalkan segala cara untuk melakukan praktik kecurangan. Bagaimana mau mencetak anak bangsa yang berbudaya dan berkarakter unggul jika dalam prosesnya saja banyak diwarnai kecurangan dan akalan-akalan?

Hilangnya budaya malu mengingatkan kita betapa pentingnya pendidikan karakter itu. Lunturnya budaya malu juga merupakan tantangan besar bagi dunia pendidikan kita, bagaimana bisa menumbuhkan kembali budaya malu itu dan berbagai penyimpangan budaya dan sosial yang terjadi saat ini. Seharusnya, pendidikan karakter tidak hanya di lembaga pendidikan, namun harus diterapkan mulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga.

Pendidikan tinggi, jabatan mentereng, pengalaman mentereng akan tidak ada artinya jika kita tidak memiliki rasa malu. Rasa malu itu adalah tameng, sekaligus benteng agar kita tidak terjebak melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. 

Selalu mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan berpikir sebelum bertindak. Orang yang memiliki rasa malu berarti berusaha menjaga kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Sangat penting bagi kita untuk memiliki rasa malu dan berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan tercela dan berupaya menebar kebaikan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun