Mengungkap hal tersembunyi, itulah salah satu tujuan Big Data.  Perilaku manusia dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik  merupakan  hal yang sangat menarik bagi perusahaan-perusahaan iklan dan  badan  intelijen sebuah negara. Sebut saja Google dan Facebook, siapakah  di  antara kita yang pernah menyempatkan diri membaca syarat dan ketentuan  menggunakan layanan pencarian dan jejaring sosial tersebut? Â
Selama ini  Google menyimpan apa saja yang pernah kita cari sejak  pertama kali  terdaftar pada layanan tersebut di history google. Demikian juga halnya dengan Facebook, setiap aktivitas like dan klik menjadi acuan iklan yang akan ditampilkan. Data kita dijual  kepada pengiklan. Terkadang kita juga menjadi objek penelitian, berita  atau status yang kita like mencerminkan kondisi psikologis  kita, bahkan ada penelitian korelasi antara isi posting Twitter dengan  kondisi mental seseorang [10].
Big Data dan Privasi
Kita beranggapan bahwa layanan  Internet  yang disediakan perusahaan asing tidak menjadi ancaman bagi  kehidupan  sosial pribadi dan mempercayakan sepenuhnya komunikasi kita  melalui  layanannya. Sebenarnya, pesan yang kita anggap rahasia ketika  menekan  tombol "submit" sudah bukan rahasia lagi. Ada begitu  banyak  titik perangkat jaringan yang dilewati hingga sampai ke dalam  kotak  pesan orang yang dituju.Â
Sesampainya di server Google atau  Facebook, walaupun kita menginstruksikan agar pesan tersebut  dihapus setelah dibaca kepada penerima, tidak ada yang menjamin bahwa  informasi  tersebut benar-benar dihapus. Ketika kita menghapus sebuah  pesan e-mail  atau posting, sebenarnya di latar belakang sistem bisa saja sang pemrogram hanya memberikan flag atau tanda di kolom tabel basisdata untuk menandakan posting kita dihapus tanpa menghapus isinya.
Belum lagi, ilusi bahwa kita memiliki privasi di Internet dengan mengandalkan kata sandi dan 2FA (two factor authentification) merupakan sesuatu yang sangat tidak berdasar. Khusus untuk 2FA, yang mengandalkan SMS ke handphone, dengan ditemukannya kelemahan pada protokol routing jaringan telekomunikasi global, yaitu Signaling System 7 (SS7), maka seseorang bisa menyadap lalu-lintas SMS, percakapan telepon, dan menjejak lokasi seseorang [13][9][2].Â
Implikasi lanjutnya pada kehidupan kita tentu bisa disimpulkan, mulai dari token SMS Danamon hingga akun jejaring sosial dan e-mail menjadi tidak aman  lagi. Sejak dikembangkan pada 1975, protokol tersebut menjadi tulang  punggung lalu-lintas komunikasi telepon. 33 tahun kemudian, yaitu pada  2008 baru ditemukan kelemahannya dalam sebuah penelitian dan pada 2014  ramai diberitakan media publik. Apakah itu disengaja untuk kepentingan  pihak tertentu belum ada yang mengungkap.
Lalu apa relevansi kelemahan protokol dengan Big Data? di mana ada data berlimpah di sana ada Big Data. Apabila semua kelemahan protokol tersebut "disengaja", mulai dari SS7 sampai SSL untuk sambungan komunikasi Internet, maka dapat mempermudah pengumpulan  informasi dan analisis lebih lanjut bagi pihak tertentu [11].Â
Dengan menguasai hub, atau tempat perlintasan informasi, dan protokolnya maka pihak terkait  berada di peringkat atas penguasaan informasi dunia. Semua informasi  diserap dan memudahkan sebuah negara untuk mengukur kekuatan negara  lain, menambah tingkat percaya diri sebuah negara untuk mendikte negara  lainnya.
Big Data dan Informasi Strategis
Banyak orang berpendapat, kenapa terlalu  mengkhawatirkan privasi, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Itu  membuat saya teringat cerita tentang semut dan belalang yang biasa diceritakan pada anak-anak di taman kanak-kanak, tentang  belalang yang tidak menimbun makanan seperti yang dilakukan semut saat  musim panas dan akhirnya mati kelaparan saat musim dingin datang.Â
Kilas balik peristiwa perang Irak pada 2003, beberapa orang mungkin bertanya  mengapa Amerika Serikat bisa menduduki sebuah negara asing hingga  melintasi benua. Itu merupakan hal yang sulit dilakukan karena  membutuhkan koordinasi sumber daya yang sangat kompleks. Selain koalisi dan penguasaan teknologi bidang militer yang lebih unggul, penyebab  lainnya adalah karena mereka memiliki informasi lebih banyak daripada  pemerintah Irak itu sendiri [3][5].Â
Amerika  Serikat mengetahui di mana saja letak instalasi-instalasi  telekomunikasi dan pembangkit listrik negara Irak dan dengan menyerang  infrastruktur tersebut pada awal perang maka koordinasi militer Irak  menjadi berantakan.