Apabila di tengah  perjalanan hidup, seorang manusia tidak tahan dalam memegang prinsip  sejati tersebut karena siksaan yang melahirkan rasa putus asa, pada saat  itulah pikiran rendah mengambil alih kemudi, dan jiwa yang lemah  akhirnya membelot dan bersekutu dengannya. Mewujud dalam tindakan  kekerasan yang tidak terarah, membuat penderitaan banyak orang. Kini ia  berada di pihak yang sama dengan penindasnya.Â
Cinta dan benci  adalah dua hal yang berbeda, satunya berjalan ke arah Timur dan satunya  ke arah Barat, dan banyak yang memilih menjalani keduanya karena tidak  berusaha memahaminya secara filsafat. Itu sebabnya di dalam diri ada dua  roda gigi yang saling bergesekan dan merusak "mesin" pikiran dan  jasmani seseorang.
Masih terkait kutipan Mandela pada bagian  pembuka tulisan ini, ia mengingatkan saya pada anak saya yang sekarang  berada jauh di sana. Sekarang ia sedang belajar tentang kehidupan pada  masa-masa awal hidupnya. Saya harus bijaksana menuntunnya agar selalu  bersyukur dan menghargai semua orang.Â
Tugas saya dan orang-orang  terdekatnya untuk mengenalkannya pada dunia dan memandunya bahwa ia  bebas memilih untuk melihat dunia mana yang ia ingin lihat dan menjadi  realitasnya dalam batas-batas yang sesuai dengan norma dan usianya.
Sedikit  bercerita, pernah saya melihat bagaimana seorang anak baru masuk  sekolah dasar sangat tidak menyukai seseorang. Saya bisa melihat dari  sinar matanya ketika ibunya menyebut nama orang tersebut. Saya menarik  napas panjang, saya pernah melihat tatapan mata seperti itu, tapi itu  bukan milik anak seusia dia, itu milik pemimpin partai Nazi, Adolf Hitler, yang sedang berpidato memprovokasi rakyat Jerman.Â
Setelah  saya telusuri ternyata ibunyalah yang menanamkan rasa tidak suka  tersebut karena suaminya pernah diperlakukan tidak baik oleh orang  tersebut. Saya berpikir kasihan anak tersebut, masih belum mengerti  masalah orang tuanya namun ikut memendam perasaan negatif yang  seharusnya belum pantas untuk anak seusianya karena ternyata ayahnyalah  yang bersalah pada orang tersebut berdasarkan cerita ayahnya pada saya.  Sedemikian mudahnya kita menggoreskan tinta hitam di atas kertas anak  yang putih dan tanpa kita sadar akibatnya, kita sudah turut merusak  pikiran dan karakternya.
Sejak dahulu dunia tidak berubah, ada  sisi baik dan sisi buruk. Manusia diberi kecerdasan dan leher untuk  menoleh ke arah mana yang ia suka. Dalam usianya menjelang 3 tahun,  dipenuhi rasa ingin tahu, sering anak saya bertanya pada saya tentang  apa nama sebuah benda atau binatang dengan menunjukkan jari telunjuknya  yang kecil ke arah sebuah gambar dan sambil menggumam dengan bahasa yang  tidak saya mengerti seolah ingin mengatakan "Itu namanya apa, Papa?".  Ketika saya mengatakan "gajah", ia langsung mengulang mengucapkan kata  tersebut walaupun masih kurang sempurna. Esoknya, ketika ia melihat  gambar itu lagi, sambil menunjuk, spontan ia menyebut kata "gajah". Saya  takjub, terdiam dan berpikir lama.
Ada sedikit perasaan was-was,  seperti menulis instruksi ke dalam sebuah komputer yang belum terisi  berkas apapun agar tidak terjadi kesalahan ketika menjalankannya yang  ujungnya membuat komputer menjadi hang. Ternyata memang orang  dan lingkungan sekitarnyalah yang akan membentuk pikiran dan karakter  anak tersebut. Seperti anak di negara bersalju akan belajar bagaimana  bertahan dari cuaca dingin dari orang tuanya dan begitu juga anak di  gurun belajar bertahan dari cuaca panas.Â
Setiap manusia melihat  dunia mereka dari lubang kunci mereka yang kecil, setiap pengalaman  sifatnya pribadi. Gambaran dunia tersebut hanya menjadi utuh melalui  penyelaman pengetahuan yang diperoleh dari pikiran dan pengalaman orang  lain yang dibagi dalam bentuk bacaan maupun dengan melakukan perjalanan  ke berbagai belahan dunia.
Saya membayangkan apabila semua anak  usia 2 atau 3 tahun di dunia ini belajar untuk mencintai manusia lain  terlepas dari atribut sosialnya bukankah itu cukup untuk menciptakan  dunia yang lebih baik 10 atau 20 tahun ke depan? Memang ada saat ia  harus berhati-hati dan menjaga diri yaitu dengan mengenali karakter  manusia yang lain dan bukan dengan menilai baik buruk seseorang melalui  "warna kulit"-nya.Â
Ia akan bingung bila suatu hari nanti bertemu  dengan orang yang berbeda "warna kulit" namun berkarakter baik, bahkan  lebih baik dari orang yang memiliki "warna kulit" yang sama dengan  dirinya. Apakah berlaku sebaliknya? Tentu tidak.