Lalu?
Dapatkah (Kita) Menuntut yang Lebih?
Beruntungnya, dalam suasana serba pesimis ini telah sedikit terselip titipan anugerah Tuhan. Meski tak nampak, barang inilah yang menggerakkan. Selipan ini mewujud dalam nilai yang diaktualisasikan dalam beragam langgam kehidupan.
Getir yang tiada tawarnya justru membuat generasi ini kembali menelikung ke belakang tanpa mengekor arus dan menerima dengan nota kosong. Mereka merasa bahwa kesetaraan, organik, kreatif, dan kolektifis menjadi basis yang tak dapat ditawar. Mirip kesadaran di era pendiri bangsanya dulu ketika iseng-iseng menentang kuasa liyan meski sering dianggap "tuntutannya" tak mungkin.
Mereka bukan generasi yang begitu saja menerima anekdot fatalis bahwa "lebih sulit membayangkan kapitalisme tumbang daripada datangnya kiamat". Ini sama halnya dengan sulitnya membayangkan sebuah kejatuhan rezim oligarki, budaya korupsi, komersialisasi pendidikan, krisis iklim, dlsb. Dapat dihapus untuk kemudian sedikit berpihak kepada kepentingan universal. Padahal memungkinkan.
Generasi yang memiliki beragam nilai orisinilnya mampu menginisiasi kebudayaan dan platform yang barangkali asing bagi pendahulunya. Budayanya tersambung dalam misi pergerakan dan perubahan, meskipun kecil dan dekat, yang barangkali mereka sendiri tak sadari.
Apakah kita pernah membayangkan sebuah agitasi menuju sikap dan gerakan yang begitu masif dan berpengaruh pasca kejatuhan Soekarno? Ada. Saat mereka bersepakat boikot beragam perusahaan yang dirasa mendukung penjajahan di Palestina. Medium dan bentuk agitasi yang sama sekali tak dikalkulasi namun begitu menggerakkan sebab digerakkan oleh keresahan universal. Lebih-lebih bahwa gerakan ini tak diprakarsai oleh patronase ketokohan melainkan kesadaran yang dideliver oleh banyak figur. Mari coba belajar menelisik langgam ini dalam beragam medium dan isu baik yang dekat hingga besar.
Tanpa mengabaikan apa yang menjadi bagian penting dalam langgam gerakan ini, nampaknya beragam penghalang menjadi niscaya mengemuka bahkan sejak proses inisiasi, bukan hanya saat dan setelahnya. Setidaknya dua hal, saat dominasi kesadaran dan konsolidasi belum terorganisir.
Pertama, banyak gerakan yang terpaksa dimasuki agenda yang tak relevan sehingga terjebak dalam (meminjam istilah Chantal Moufe) momen populisme. Saat sebuah gerakan terjebak dan berkompromi dalam kalkulasi popularitas, kuantifikasi, insight, dan identifikasi sebelum menakar dampak, relevansi, hingga efektivitasnya.
Pada akhirnya apa yang menjadi standing dan triger bukan lagi nilai maupun momentum ataupun kalkulasi lain yang relevan, melainkan sebatas gerak insidental dibungkus dalam seremonial dangkal yang kadang diromantisir sebagai keharusan dan panggilan.