Barangkali apa yang digambarkan Rendra 48 tahun lalu dalam puisinya merupakan sebuah diktum sikap politis yang tak bisa dibatalkan. Puisinya nyaris seperti hidup pohon yang sejak dimuali oleh bebijian lalu dari waktu ke waktu akarnya kian menghujam dan batangnya kian kokoh menjulang. Gambaran dan pesan puisinya kian terbuktikan bahkan kian runyam.
Barangkali ketika Rendra masih hidup hingga hari ini, ia ingin menambah bait dalam puisinya sebab kian hari justru semakin tak tergambar bentuk ideal yang seharusnya ada. Meski rezim silih berganti, walau narasi pembangunan kiri-kanan terus diperbaharui. Lipatan waktu yang seharusnya menjadi pledoi bagi kebanyakan masyarakat justru mengajari segelintir orang untuk semakin rakus.
Lalu, dapatkah dibayangkan laju sebuah bangsa bergerak menuju pendulum yang lebih berkeadilan disaat generasi penerusnya justru diberi amat banyak beban? Apa yang bisa dicita-citakan saat banyak dari generasi hari ini bukan diwarisi oleh nilai hidup untuk kesejahteraan melainkan hanya dititipi ambisi culas penuh bohong hingga mininggalkan residu ketamakan yang kian mencekik leher.
Di saat yang sama, "mereka" merasa perlu menyuntikkan kalimat klise agar pemuda tak berpijak pada pesimisme. Jargon-jargon kemudian dibuat sedemikian rupa, narasi basi heroisme direproduksi ulang, sampai ruang-ruang "baru" dibuka namun bukan untuk menyatakan keresahan generasi melainkan hanya sebagai gimmick legitimasi kuasa berujung patronase mengerikan.
Getir? Memang demikian!
Ceritanya dimulai dari sini. Saat sebagian besar generasi muda hari ini kian jauh dari kelayakan dalam hal paling mendasar di hidupnya. Gamang. Membayangkan pun kadang mereka malu sendiri. Saat institusi sekolah hanya menjadi mesin ekstruder setengah rusak, mesin yang sengaja menghasilkan produk setengah jadi agar mampu ditawar dengan serendah-rendahnya. Saat agenda politik sengaja diorkestrasi sedangkal mungkin hanya sejauh "perang" dalam tampuk kuasa.
Produknya, generasi ini gagal memiliki imajinasi sebesar para pendiri bangsanya. Setiap hari dipaksa melumrahkan korupsi sebagai pelicin demokrasi. Jumlah uang yang dicuri selama setahun saja konon mampu membiayai 800an ribu anak hingga tamat sarjana. Mampu membuka 40an ribu fasilitas kesehatan bagi mereka yang terpinggirkan. Tentu saja uang itu mampu membuka 50an ribu kedai kopi lengkap dengan fasilitas kiwari. Atau jika diradikalkan sebanding dengan 98 hektar tanah di Jawa untuk kepentingan publik. Padahal sebagian generasi mereka sepakat bahwa keadaan semacam ini bukanlah takdir.
Di saat akses penguasaan tanah kian termonopoli dan tersentralisasi dimana 249 juta masyarakat memperebutkan hanya 1/5 sisa dari totalnya. 4/5nya? Lalu hari ini mereka dipaksa mencari "suaka ideal" hasil doktrin tak berkeadilan. Tapi sial, gaji dari peluh keringatnya selama sebulan hanya cukup untuk membeli paketan dan sesekali nongkrong di kedai kopi. Jelas tak memungkinkan bagi mereka, kecuali keberuntungannya seumur hidup ditukar oleh lotre Hongkong.
Dalam lansekap yang lebih besar, generasi ini juga dibebani oleh kegamangan akan keberlanjutan bumi. Tempat dimana generasi ini menekurkan segala gelisah. Kadang dipaksa bungkam, kadang dipaksa menjauh atas dasar titipan imajinasi tinggalan.
Bayangkan saja, bahwa 20 tahun mendatang, tepat ketika mereka "matang", bumi sudah tidak layak huni. Sepertiga bumi akan lenyap tenggelam untuk kemudian dipaksa memberi makan kepada hampir 10 miliar mulut manusia. Saat itupula manusia hanya mampu bertahan 3 jam di luar ruangan sebab begitu panasnya.
Pendeknya, mereka dibebani oleh akumulasi sampah kesejarahan yang bagi banyak orang dijuluki sebagai puncak peradaban. Sekali lagi. Padahal sebagian generasi mereka sepakat bahwa keadaan semacam ini bukanlah takdir.