Mohon tunggu...
Ilyas Syatori
Ilyas Syatori Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Desa

Kadang menulis, kadang berkebun, lebih banyak tidur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (Bag-2)

7 Juni 2022   11:57 Diperbarui: 7 Juni 2022   14:17 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural Wajah Antonio Gramsci. Sumbar gambar: www.bing.com .

Seperti yang telah penulis janjikan sejak awal, bahwa dalam judul ini tulisan akan disajikan dalam dua bagian. Yang awal menjembatani secara sederhana menyoal krisis kapitalisme dan pada bagian kedua ini, yang sedang saudara baca, akan mencoba untuk mengelaborasi riuh macam pemahaman-pemahaman intelektual muslim kita terhadap problematika Kapitalisme.

Melacak Basis Kecenderungan Ideologis

Bagaimanapun, Islam merupakan agama yang secara diametral di satu sisi sebagai agama yang, secara abstrak dan teologis, menghantarkan pada keselamatan (berasal dari kata Salima: Keselamatan) dan di sisi lain, secara material-empirik, mengharuskan adanya upaya pembaharuan metodologi dalam memahaminya (Tafsir) secara terus menerus untuk menemukan relevansi berikut signifikansinya dikalangan masyarakat.

Oleh sebab metodologi pemahaman berasal dari nalar epistemologi seorang Intelektual yang dipengaruhi oleh realitas kebudayaan, geo-politik, sejarah, hingga ideologi maka pemahaman yang konstruksi dari metodologi yang melatarbelakanginya ini bersifat relatif dan terbuka oleh kritik. Tak terkecuali konstruksi nalar epistemologis sosok intelektual terhadap realitas krisis kapitalisme yang penulis tuliskan pada bagian pertama.

Dijelaskan oleh Abdul Mustaqim bahwa kecenderungan intelekual muslim dunia hari ini berangkat dari semangat kritis dalam metodologinya, maka secara produk yang disajikan pada umumnya melalui pendekatan heurmenetik yang lebih cenderung kosmopolit dan multidisiplin bukan hanya berkaitan dengan wacana teologis-normatif namun lebih kepada semangat relevansi sebuah tafsir sebagai jawaban atas problematika aktual sekaligus implikasi dari adagium "Shalih Li Kulli Zaman Wa al-makan". Paradigma ini muncul dari beberapa nama besar seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Syahrur, Samir Amin, dlsb. meskipun mereka memiliki perbedaan motif kecenderungan dan tentu ideologi.

Meski demikian, tesis Abdul Mustakim di atas ternyata tak seluruhnya bisa dibenarkan. Paling tidak kita seharusnya tidak buru-buru untuk mengamininya melainkan harus melihat secara jujur dan kritis bahwa semangat rekonstruksi metodologis tersebut apakah menyentuh jantung problematika yang berakar dari Kapitalisme ini?

Maksudnya, kita harus memahami bagaimana intelektual muslim kita, khususnya di Indonesia, memahami problem kapitalisme sebagai problem struktural alih-alih kultural. Oleh karenanya menarik untuk memahami diferensiasi intelektual Islam yang dikemukakan oleh Mansour Fakih sebagai pembanding.

Fakih menjelaskan para Intelektual Muslim islam terbagi dalam empat paradigma pemahaman yaitu, Tradisionalis, Revevalis, Modernis, dan Transformatif. Adapun deferensiasi ini bukan seperti analisis antropologis yang digariskan oleh Geertz melainkan lebih kepada pola pemikirannya dalam merespons dan memahami problematika (Ideologis?)

Adapun paradigma Tradisional, menurut Fakih, ialah pemahaman yang berangkat dari kerangka teologis tradisional yang menempatkan krisis kapitalisme, misal kemiskinan, sebagai takdir tuhan yang tidak dapat diupayakan oleh manusia seperti dalam keyakinan madzhab Jabariyah dan sebagian Ahlussunah. Sehingga dalam praksisnya pemahaman ini membawa pada praktik fatalisme.

Istilah lain juga disebut oleh Wardani sebagai muslim Akhiratisme, yang pemahaman kehidupannya berkutub pada kehidupan akhirat dan alpha dengan realitas sekitar.

Kemudian paradigma Revevalis ialah model pemahaman yang berangkat dari pemahaman kaum fundamentalis agama yang cenderung ekslusif dalam praktik maupun pemikirannya. Sehingga ketika paradigma ini memahami problem struktural seperti kemiskinan fokus pandangan ini menganggap bahwa kemiskinan sebagai akibat dari kalangan muslim yang telah terpengaruh isme-isme selain islam.

Pendeknya, paradigma ini secara totalitas menginginkan kembali kepada qur'an dan hadits sebagai jawaban atas seluruh problematika yang ada. Pandangan ini secara total dapat kita amati dipraktikkan oleh kaum Salafi-Wahhabi, HTI, dlsb.

Lebih lanjut dan ini yang menjadi pemahaman populer di kalangan intelektual muslim Indonesia adalah paradigma modernis, Fakih juga menyebutnya sebagai paradigma Liberal. Adalah pemahaman yang berangkat dari nalar pikir pencerahan ala Eropa abad pertengahan ketika masa pencerahan yang berpuncak pada modernisme

Kelompok ini memahami bahwa problem kemiskinan yang terjadi di masyarakat disebabkan keadaan masyarakat yang belum tercerahkan oleh nalar modernisme. Di sisi lain mereka lupa bahwa krisis iklim yang menggejala adalah akibat dari rasionalisasi manusia sebagai subyek dan liyan sebagai obyek.

Kelompok ini sangat resisten dengan paradigma tradisionalis. Alih-alih memahami secara jujur berkenaan dengan analisa kritis strukturalis atau teori kelas, dalam konteks keyakinan beragama, kelompok ini berfokus terhadap transformasi pemikiran dari teologi tradisional menuju modernis sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan meskipun dengan mengarus kepada model kapitalistik sekalipun.

Kemudian paradigma yang terakhir adalah paradigma Transformatif, ialah pemahaman yang berangkat dari kacamata holistik melihat suatu realitas sosial, Fakih juga menyebutnya sebagai pradigma alternatif. Dalam memahami kemiskinan, paradigma ini mengimani adanya problem struktural akut yang determinan.

Bahwa dalam kemiskinan yang terjadi di masyarakat luas saat ini disebabkan oleh ketimpangan yang tak terkendali, kerja eksploitatif, ekstraksi surplus oleh sistem yang culas, dlsb. Oleh karenanya, paradigma ini menginginkan transformasi atau bahkan revolusi struktural untuk kesetaraan dan pembebasan dari kedzaliman.

Keberpihakan Intelektual

Jika kita menggunakan analisis yang lebih radikal lagi sebenarnya peran intelektual hanya terbagi menjadi dua terlepas dari keyakinan beragama seorang intelektual, seperti disebutkan oleh Noam Chomsky. Ia menyebut bahwa sosok intelek adalah mereka yang segala upaya kecendekiawanannya mengarus pada nilai-nilai luhur seperti kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dlsb. yang menuntut seorang intelek harus berpihak kepada subyek-subyek rentan dan dilemahkan.

Sebaliknya, Chomsky menyebut ada sosok intelek yang upaya kecerdasannya hanya mengarus pada kebijakan-kebijakan kompromistis yang sama sekali tak memiliki keberpihakan dan hanya mengikuti keinginan para oligarki seperti yang terjadi di Amerika. Chomsky menyebut golongan kedua ini sebagai figur eksentrik yang tak memiliki signifiikansi kehidupan.

Analisis Chomsky ini juga diperdalam oleh Gramsci. Ia menyebut bahwa peran paling vital dari seorang intelek adalah membongkar hegemoni stuktur yang dilanggengkan oleh kekuasaan yang umumnya stagnan dan kompromistis dengan hal-hal yang nir kemanusiaan. Sebut saja peran pemerintah yang kompromistis dan permisif dengan proyek-proyek ekstraktif yang menyengsarakan rakyat sekitar dan merusak alam.

Bagi Gramsci, selubung hegemoni harus dibongkar dengan peran keberpihakan yang kongkrit dari seorang intelektual melalui medium kebudayaan dan penguasaan aset ideologi dengan turun ke medan lapang untuk advokasi, mempolitisir, meng-organisir rakyat agar perannya sebagai bagian dari pembangunan tidak terpinggirkan.

Namun sayangnya kita hari ini dengan hadirnya media sosial, yang justru semakin memperkeruh keadaan, adalah melihat dan mengikuti pemikiran dari sosok intelektual berdasarkan preferensi yang kurang absah dalam kaitannya dengan problematika umat.

Alih-alih kita sebagai masyarakat awam dapat mengikuti dan menyimak kuliah ataupun jurnal yang ditulis oleh figur yang mempromosikan alternatif dalam menghdapi problematika umat, hari ini para Intelektual kita justru menyeret kita dalam orkestrasi tak relevan yang kadang rasis dan tak berpihak umat.

Akhir kata, selayaknya manusia yang penuh keterbatasan dalam memhami, sejauh apapun kita didera pesimisme pastilah selalu muncul pendar-pendar cahaya dari kejauhan yang mengharuskan kita menyalakan tanda optimisme tentang masa depan. Entah siapapun orangnya yang membawa pendar cahaya itu, meski tergopoh dan lunglai, wajib kita merindukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun