Pendeknya, paradigma ini secara totalitas menginginkan kembali kepada qur'an dan hadits sebagai jawaban atas seluruh problematika yang ada. Pandangan ini secara total dapat kita amati dipraktikkan oleh kaum Salafi-Wahhabi, HTI, dlsb.
Lebih lanjut dan ini yang menjadi pemahaman populer di kalangan intelektual muslim Indonesia adalah paradigma modernis, Fakih juga menyebutnya sebagai paradigma Liberal. Adalah pemahaman yang berangkat dari nalar pikir pencerahan ala Eropa abad pertengahan ketika masa pencerahan yang berpuncak pada modernisme
Kelompok ini memahami bahwa problem kemiskinan yang terjadi di masyarakat disebabkan keadaan masyarakat yang belum tercerahkan oleh nalar modernisme. Di sisi lain mereka lupa bahwa krisis iklim yang menggejala adalah akibat dari rasionalisasi manusia sebagai subyek dan liyan sebagai obyek.
Kelompok ini sangat resisten dengan paradigma tradisionalis. Alih-alih memahami secara jujur berkenaan dengan analisa kritis strukturalis atau teori kelas, dalam konteks keyakinan beragama, kelompok ini berfokus terhadap transformasi pemikiran dari teologi tradisional menuju modernis sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan meskipun dengan mengarus kepada model kapitalistik sekalipun.
Kemudian paradigma yang terakhir adalah paradigma Transformatif, ialah pemahaman yang berangkat dari kacamata holistik melihat suatu realitas sosial, Fakih juga menyebutnya sebagai pradigma alternatif. Dalam memahami kemiskinan, paradigma ini mengimani adanya problem struktural akut yang determinan.
Bahwa dalam kemiskinan yang terjadi di masyarakat luas saat ini disebabkan oleh ketimpangan yang tak terkendali, kerja eksploitatif, ekstraksi surplus oleh sistem yang culas, dlsb. Oleh karenanya, paradigma ini menginginkan transformasi atau bahkan revolusi struktural untuk kesetaraan dan pembebasan dari kedzaliman.
Keberpihakan Intelektual
Jika kita menggunakan analisis yang lebih radikal lagi sebenarnya peran intelektual hanya terbagi menjadi dua terlepas dari keyakinan beragama seorang intelektual, seperti disebutkan oleh Noam Chomsky. Ia menyebut bahwa sosok intelek adalah mereka yang segala upaya kecendekiawanannya mengarus pada nilai-nilai luhur seperti kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dlsb. yang menuntut seorang intelek harus berpihak kepada subyek-subyek rentan dan dilemahkan.
Sebaliknya, Chomsky menyebut ada sosok intelek yang upaya kecerdasannya hanya mengarus pada kebijakan-kebijakan kompromistis yang sama sekali tak memiliki keberpihakan dan hanya mengikuti keinginan para oligarki seperti yang terjadi di Amerika. Chomsky menyebut golongan kedua ini sebagai figur eksentrik yang tak memiliki signifiikansi kehidupan.
Analisis Chomsky ini juga diperdalam oleh Gramsci. Ia menyebut bahwa peran paling vital dari seorang intelek adalah membongkar hegemoni stuktur yang dilanggengkan oleh kekuasaan yang umumnya stagnan dan kompromistis dengan hal-hal yang nir kemanusiaan. Sebut saja peran pemerintah yang kompromistis dan permisif dengan proyek-proyek ekstraktif yang menyengsarakan rakyat sekitar dan merusak alam.
Bagi Gramsci, selubung hegemoni harus dibongkar dengan peran keberpihakan yang kongkrit dari seorang intelektual melalui medium kebudayaan dan penguasaan aset ideologi dengan turun ke medan lapang untuk advokasi, mempolitisir, meng-organisir rakyat agar perannya sebagai bagian dari pembangunan tidak terpinggirkan.