Mohon tunggu...
Ilyas Syatori
Ilyas Syatori Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Desa

Kadang menulis, kadang berkebun, lebih banyak tidur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stoik dan Generasi Ambigu

25 Mei 2022   19:40 Diperbarui: 25 Mei 2022   21:43 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Zizek dan Chekhov sangat keras sekali mengkritik kembali munculnya sikap ignorant anak muda yang di romantisir dengan embel-embel "kembali ke-spiritualitas, kembali ke-diri" yang kini menggejala di Indonesia (Stoik) terlebih di kalangan menengah-kota? Ingat yang saya amati kaum stoik Indonesia, bukan spiritualis Nusantara.

Jawabnya seperti dalam cerpen Ivan Chekhov yang saya tautkan dalam foto di bawah. Ya sebab dimensi batin dalam nalar logika manusia posmoderen itu sangat absurd. 

Stoik menurut Chekhov adalah ajaran yang tidak praktis dan tidak wajar sebab hanya mengajarkan kita untk mengabaikan realitas dinamika hidup yang niscaya seperti kaya-miskin, sakit-sehat, susah-bahagia, dlsb.

Dengan sinis Zizek dalam on believe-nya mengatakan bahwa kecenderungan orang untuk kontemplasi-instrospeksi diri tak akan merubah dominasi kapitalisme atas dunia ini. 

Artinya, dominasi hegemoni kuasa-pasar tetap berlanjut bahkan sampai dunia hancur lebur sebab ulah kapitalisme. Justru akan menjadi celah kapitalisme untuk semakin menghegemoni.

Absurditas ini terletak pada sisi internal seorang muda yang merindukan ketenangan dengan mengabaikan sisi kritikal dalam hidup yang kompleks. Bagaimana mungkin ia menjadi tenang hanya dengan memilah mana yang perlu ia perhatikan dan ia abaikan di dalam pikirannya.

Dalam ajaran stoik kita juga diajak menerima segala hal yang berada di luar batas kendali kita. Di sini memang tidaklah masalah, bukan?

Menjadi masalah jika implementsi pemilihan skala prioritas dikembalikan lagi kepada para individu yang sudah kadung dihegemoni kuasa pasar, persaingan artifisial, dan burnout oleh kerja yang tak manusiawi, dan kaum muda jelas mengalami ini.

Kita sangat mudah menemui anak muda yang, sekali lagi dengan dalih agar menjadi tenang sebab menjadi stoik, tutup kuping dan mulut terhadap problematika aktual yang bahkan mereka sendiri hadapi.

Dengan dalih ini pula ia menjadi seperti yang diharapkan oleh para kapitalis agar ia tetap bugar ketika bekerja untuk kemudian di akhir pekan meluangkan waktunya berkeliling pusat perbelanjaan atau staycation ke hotel, jelas dengan bajet yang ngepress sebab gaji hanya mentok UMR walau kerja setengah mati.

Baiklah, jika contoh terlalu jauh dari sirkel kita bagaimana dengan anak muda yang hanya bermain game, noton anime, dan kegiatan menyenangkan lainnya sebagai upaya meredakan tekanan hidup. 

Keadaan ini akan diulang terus-menerus oleh mereka.

Lebih lanjut tentang ide stoik yang mengajak kita untuk "menerima hal yang berada di luar kendali kita" memang terlihat dramatis dan moralis sekali sebab kecenderungan manusia memang fatalis-nihilis. 

Namun lagi-lagi rusak implementasinya jika hanya dilihat dalam kerangka pribadi yang berubah menjadi "ignorant bastard" terhadap problematika sekelilingnya.

Kita mudah sekali mendapati jawaban "itu bukan atas kendaliku, biarkan duwuran saja yang menyelesaikan" ketika kaum muda ditanya perihal konservasi alam atau pendidikan yang tak mencerdaskan, misal.

Contohnya terlalu jauh lagi, kah? bagaimana dengan keterlibatan mereka misal dalam gotong royong RT, tahlilan saudara, dlsb. dlsb. Yang sialnya lagi saya juga menjadi bagian dari generasi gamang ini.

Memang secara historis ide tentang stoik ini muncul dari kalangan priyayi-feodal kala itu yang hidup sudah kadung enak dan banyak dipraktikkan oleh raja-raja. 

artinya, secara filosofis ide stoik ini memang problematis sebab muncul dari arogansi individualitas kebangsawanan terhadap problematika dunia. Oleh karenanya dalam fenomena hari ini model pemikiran stoik lebih kompatibel dengan kelas menengah-urban.

Sebagai penutup dari fafifu wasweswos ini saya mengutip motivasi sebagai jawab atas keruwetan hari ini "Tidak akan berubah nasib suatu kaum (muda) kecuali kapitalisme memberinya modal untuk membuat startup" sudah itu saja! 

Dan mustahil! Hahahahaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun