Mohon tunggu...
Ilyas Syatori
Ilyas Syatori Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Desa

Kadang menulis, kadang berkebun, lebih banyak tidur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (Bag-1)

11 Mei 2022   19:44 Diperbarui: 11 Mei 2022   20:34 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source From www.Izquotes.com

Alih-alih memberi kelayakan dari kerja sebagai buruh yang terserap proyek industrialisasi, dari awal revolusi industri jilid 1 sampai kini yang telah sampai 4 sosok buruh adalah pekerja yang paling rentan terhadap kemiskinan. 

Hal ini dibuktikan dengan beberapa variabel pengukur seperti sebagian besar dari buruh saat ini masih dibayar dengan murah (underpaid), waktu kerja di luar batas normal (overtime), kerja berlebih (overwork), tidak memiliki perlindungan sosial, ketiadaan jaminan pendapatan layak dalam jangka panjang, dan hak berserikat yang dilucuti. 

Bahkan Fred Magdoff menganggap pengangguran adalah pendulum dari sistem produksi kapitalisme agar selain bisa terus mengakumulasikan keuntungan juga bisa mendapat tenaga kerja dengan upah murah.

Mengacu pada pandangan ini maka perlu diperhatikan bahwa sejak awal revolusi industri di Inggris, konstitusi negara melegitimasi kapitalis untuk menjadikan masyarakat teralienasi dari sistem produksi pribadi yang sebelumnya petani atau nelayan (integral dengan sistem produksi sendiri) kemudian dipaksa menjadi pekerja sektor industri yang rentan kemiskinan.

Fenomena ini juga terjadi di Indonesia seperti yang telah dikemukakan oleh Dede Mulyanto dalam risetnya yang menujukkan bahwa di Indonesia, khususnya Jawa, tanam paksa untuk memaksimalkan daerah jajahan dengan pengalihan produksi asli petani menjadi tebu untuk kebutuhan ekspor pada tahun 1830-1870. 

Juga pemaksaan bedol desa untuk sektor industri perkebunan dan pertambangan kian masif. Dede, mengutip Marx, menyatakan bahwa industrialisasi pada masa kolonial ini sangat masif dan gencar. Banyuwangi adalah salah satu Provinsi kala itu yang menurut sensus tahun 1780 berjumlah penduduk 80.000 jiwa dan pada tahun 1811 hanya tersisa 18.000 jiwa.

Hingga saat ini, seperti yang disebut Fakih, sistemnya masih sama namun hanya berbeda bentuknya adalah fenomena ekonomi industri gigs yang menyerap banyak pekerja yang sarat akan eksploitatif, tidak adil, dan rentan. Industri ini beroperasi dalam bidang jasa layanan antarbarang, antarmakanan, dan antarpenumpang dengan perusahaan seperti Grab, Gojek, Maxim, dan Shopeefood.

Indonesia sendiri, ada 4,55 persen dari total tenaga kerja produktif, atau sekitar 5,89 juta orang yang pada tahun 2019 bekerja sebagai pekerja gig, dan diperkirakan akan terus mengalami tren kenaikan setiap tahunnya. Di perusahaan platform Gojek saja, pada pertengahan 2021, total ada 2 juta pengemudi ojek online yang terdaftar sebagai mitra Gojek.

Lalu yang jadi pertanyaan untuk saat ini adalah bagaimana dan dimana posisi intelektual muslim kita dalam memahami dan merepons realitas yang begitu mencekam kita sebagai rakyat yang mencari suaka aman dibawah bayang-bayang krisis?

krisis multidimensi yang menunggu kita, jika sebagai kaum yang berprevilese, untuk terjun terjungkal atau terbang dengan menyisakan krisis yang lebih besar. Atau ada alternatif lain? Kita akan menanyakannya pada bagian dua dalam tulisan ini karena Indonesia memiliki segudang Intelektual muslim.

*Tulisan ini pertama kali terbit di Website NusantaraPedia Journal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun