Beruntung sekali beberapa waktu lalu saya bisa mengikuti sebuah forum diskusi yang diselenggarakan salah satu platform kebudayaan Klaten yang mempertemukan saya dengan banyak pegiat budaya-sosial khususnya di Klaten.
Dalam kesempatan ini saya "dipaksa" untuk memahami dan belajar banyak soal "Sanggar" berikut hal-hal yang meliputinya kepada para pembicara yang telah 'nggetih' berproses di dalamnya. Baik dalam kajian historis, peranannya dalam kancah wacana gerakan sosial-kebudayaan, hingga di tarik sampai peranan sosok pemuda dalam percaturan di dalamnya.
Meski idiom Sanggar dalam dasawarsa atau tahun belakangan ini selalu diasosiasikan, minimal saya sendiri, sebagai tempat kesenian saja namun ternyata Sanggar memiliki "cerita" yang panjang dalam dialektika perjalanannya.
Genealogi Sanggar
Jika sanggar ditelisik dari kacamata kesejarahan ia memiliki memiliki konotasi tempat menyembah (Sembah Hyang) yang muncul pada rentan ketika masyarakat Jawa kala itu (ras Proto Melanesia) berkeyakinan Kapitayan (sebelum Hindu-Budha). Masa dalam narasi sejarah sekolah biasa disebut Animisme-Dinamisme (?) Yang ternyata dapat kita ketahui bahwa narasi sekolah ini tidak sepenuhnya tepat.
Masa ini merupakan masa ketika masyarakat Jawa mempercayai bahwa Tuhan yang diberi nama Sanghyang Taya. Taya bermakna kosong, hampa, tak terpikir dan terdeteksi melalui pancaindra.
Dalam proses pemuajaan Sanghyang Taya inilah sanggar digunakan oleh para rohaniawan penganut Kapitayan. Merupakan tempat suci peribadatan untuk melakukan hubungan transendental langsung kepada Hyang Taya yang berada di Ka-Hyang-an. Berbeda dengan kalangan "abangan" kapitayan yang peribadatannya berada pada tempat-tempat yang dipercayai wingit.
Kemudian dalam perjalannya sanggar banyak mengalami perubahan fungsi dan peranannya oleh masyarakat Jawa yang "generik" pemilik idiom sanggar itu sendiri.
Artinya pergeseran fungsi sanggar merupakan proses sejarah secara berkesadaran dan panjang yang di alami oleh masyarakat Jawa sampai pada saat ini mengasosiasikannya sebagai tempat untuk berkesenian an-sich. Adapun Sanggar dalam fungsi peribadatan telah berubah menjadi Langgar setelah islam masuk ke Jawa.
Peran Sosial
Seperti halnya Langgar, Sanggar merupakan sebuah tempat yang muatannya memiliki peran vital dalam mengurai problematika umat manusia saat ini.
Ketika Langgar (masjid) berusaha membumi dengan permasalahan manusia, tidak hanya kepada ritus individualistis namun sampai pada ritus sosial. Sanggar memang seharusnya tidak jauh-jauh dari misi ini seperti halnya Langgar yang mulai bertranformasi. Yang patut diduga  bahwa Langgar merupakan Sanggar yang di Islamkan.
Jikapun Sanggar pada akhirnya sudah mentok diasosiasikan hanya sebagai tempat berkesenian dan berkebudayaan (yang dikomersilkan) namun perlu adanya tranformasi wacana agar sanggar memiliki peranan sebagai pengurai permasalahan yang ada melalui media seni dan budayanya.
Sanggar dipaksa agar mau berpihak pada bagian-bagian kehidupan yang sedang mengalami krisis yang para pelaku sanggar baik secara langsung-tidak juga sedang mengalaminya. Sanggar berupaya keluar dari ritus kesenian-kebudayaan tanpa pemaknaan bergeser pada ritus berkesenian-berkebudayaan yang ejawentahnya tidak jauh dari problem masyarakat.
Mungkin ada semacam kepatahan (diskontinuitas) transmisi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran para pendahulu, tidak hanya Kapitayan, kepada para pewarisnya yang telah sedemikian rupa di rekonstruksi oleh pendudukan Belanda selama berabad di tanah Jawa.
Apa jadi jika sanggar hanya asik memainkan teriannya sambil kesana kemari membawa proposal namun diam saja ketika, misalkan, ternyata dan memang benar para pemegang kuasa di desa tempat berdirinya sanggar sedang asik memainkan proyek dan bancakan dana desa.
Atau diam saja dan asik dengan proyek keseniannya ketika melihat kanak-kanak ditempat sanggar berdiri kehilangan akses pendidikan yang bermutu akibat pendidikan formal yang based on proyek-industri. Yang diam diam juga menggejala pada pelaku sanggar itu sendiri seperti yang di singgung dalam diskusi tadi.
Kembali ke Akar
setidaknya kita tahu gambaran bahwa peribadatan kaum kapitayan merupakan peribadatan yang holistik tidak hanya Teo-sentris saja. Bahkan hingga sampai taraf kesadaran ekologis, yang belakang hari kita sibuk mengimpor kajian ini dari barat.
Ini hanya salah satu dari banyak kearifan para pendahulu kita yang sangat holistik ajarannya. Dan memang sepantasnya ini menjadi alarm bagi kita sebagai pegiat budaya agar dapat mewarisi bukan hanya bentuk lahiriah dari sebuah budaya yang bisa dikomersilkan menjadi pundi-pundi rupiah, jabatan, personal oriented yang ekslusif, melainkan budaya sebagai sebuah sistem dan cara menjalani laku hidup. Gerakan kembali ke akar.
Dalam hal ini cara pikir kritis, simpatik, kontekstual, memang perlu di deder dalam dialektika perjalanan sebuah sanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H