Jikapun Sanggar pada akhirnya sudah mentok diasosiasikan hanya sebagai tempat berkesenian dan berkebudayaan (yang dikomersilkan) namun perlu adanya tranformasi wacana agar sanggar memiliki peranan sebagai pengurai permasalahan yang ada melalui media seni dan budayanya.
Sanggar dipaksa agar mau berpihak pada bagian-bagian kehidupan yang sedang mengalami krisis yang para pelaku sanggar baik secara langsung-tidak juga sedang mengalaminya. Sanggar berupaya keluar dari ritus kesenian-kebudayaan tanpa pemaknaan bergeser pada ritus berkesenian-berkebudayaan yang ejawentahnya tidak jauh dari problem masyarakat.
Mungkin ada semacam kepatahan (diskontinuitas) transmisi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran para pendahulu, tidak hanya Kapitayan, kepada para pewarisnya yang telah sedemikian rupa di rekonstruksi oleh pendudukan Belanda selama berabad di tanah Jawa.
Apa jadi jika sanggar hanya asik memainkan teriannya sambil kesana kemari membawa proposal namun diam saja ketika, misalkan, ternyata dan memang benar para pemegang kuasa di desa tempat berdirinya sanggar sedang asik memainkan proyek dan bancakan dana desa.
Atau diam saja dan asik dengan proyek keseniannya ketika melihat kanak-kanak ditempat sanggar berdiri kehilangan akses pendidikan yang bermutu akibat pendidikan formal yang based on proyek-industri. Yang diam diam juga menggejala pada pelaku sanggar itu sendiri seperti yang di singgung dalam diskusi tadi.
Kembali ke Akar
setidaknya kita tahu gambaran bahwa peribadatan kaum kapitayan merupakan peribadatan yang holistik tidak hanya Teo-sentris saja. Bahkan hingga sampai taraf kesadaran ekologis, yang belakang hari kita sibuk mengimpor kajian ini dari barat.
Ini hanya salah satu dari banyak kearifan para pendahulu kita yang sangat holistik ajarannya. Dan memang sepantasnya ini menjadi alarm bagi kita sebagai pegiat budaya agar dapat mewarisi bukan hanya bentuk lahiriah dari sebuah budaya yang bisa dikomersilkan menjadi pundi-pundi rupiah, jabatan, personal oriented yang ekslusif, melainkan budaya sebagai sebuah sistem dan cara menjalani laku hidup. Gerakan kembali ke akar.
Dalam hal ini cara pikir kritis, simpatik, kontekstual, memang perlu di deder dalam dialektika perjalanan sebuah sanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H