Tulisan ini merupakan sebuah anti-tesis dari sebuah artikel dengan judul 'Lockdown Disebut Cuma Buang Waktu, Tak Salah Jika Jokowi Mulai Berdamai dengan Covid-19'. Karena seakan-akan artikel tersebut menggiring opini masyarakat bahwa tindakan pemerintah yang akan berdamai dengan Corona dapat dibenarkan sepenuhnya. Dan menganggap bahwa lockdown merupakan kebijakan yang membuang waktu.
Pertama, Pemerintah bisa melakukan new normal jika syarat sudah terpenuhi, salah satu diantaranya adalah jika kurva penambahan kasus Corona mulai menurun. Perlu digarisbawahi sekali lagi harus ada penurunan kasus. Hal itulah yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah saat ini.
Malah sekarang ini kasus Corona di Indonesia cenderung naik. Tercatat tanggal 21 Mei 2020 kemarin merupakan rekor harian Corona tertinggi sebanyak 973 kasus baru. Jadi new normal bukan langkah yang tepat diambil oleh pemerintah untuk saat ini.
Seperti contoh misalnya saja negara Korsel sudah melonggarkan lockdown itu karena mereka sudah melewati masa krisis pandemi dan mengalami penurunan kasus. Rata-rata penambahan kasus harian menurun dari yang tadinya bisa di atas 100 kasus per-hari menjadi 50 kasus atau bahkan kurang dari itu.
Jumlah kematian di Korsel juga lebih sedikit ketimbang di Indonesia. Kematian di Korsel akibat Virus Corona adalah 208 kasus dan 7.117 orang berhasil pulih. Barulah pemerintah Korsel pun melonggarkan pedoman pembatasan sosial dan mengubah fokus mereka untuk memperbaiki perekonomian.
Lalu, ada negara Italia yang saat ini untuk pertama kalinya kasus di negaranya mengalami penurunan harian terendah pada 25 Mei 2020. Dikutip dari CNN, Badan Perlindungan Sipil Nasional mengungkapkan, berdasarkan data terbaru, jumlah kasus aktif juga turun 2,29% menjadi 55.300 pada Senin.
Sementara jumlah pasien dalam perawatan intensif ada 541 setelah berkurang 12 dalam 24 jam terakhir. Italia juga melaporkan 92 kematian, sehingga jumlah total menjadi 32.877.
Menurut penghitungan Johns Hopkins University, hingga saat ini terdapat 230.158 kasus virus corona di negara itu. Italia tidak lagi berada di urutan teratas negara dengan kasus terbanyak setelah disalip Brasil, Rusia, dan juga Inggris.
Pemerintah Italia memang telah melonggarkan kebijakan pembatasan pergerakan termasuk penguncian wilayah (lockdown) setelah tren kasus baru corona menurun. Italia pun mewacanakan untuk kembali menggelar liga sepakbola serie A sebagai bentuk pelonggaran dari lockdown.Â
Begitu pula dengan Jerman yang sudah memulai liga bola Bundesliga lebih dulu sejak beberapa minggu kemarin karena mengalami penurunan kasus juga.
Kedua, disebutkan oleh Michael Levitt bahwasanya lockdown bukan merupakan keputusan strategis dan taktis berdasarkan sains namun merupakan keputusan berdasarkan kepanikan.Â
Hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab jika kita melihat kacamata sejarah sudah ada banyak pandemi yang telah dilalui oleh peradaban manusia. Salah satunya black death, tercatat sejarah manusia dapat melewati pandemi black death ini dengan cara melakukan lockdown.
Black death adalah pandemi yang terjadi pada pertengahan hingga akhir abad keempat belas. Pandemi ini menghilangkan 60% populasi Eropa yang mana menewaskan korban sekitar 50 juta warga Eropa dan 75 juta warga Asia dan Afrika. Menurut Encylopaedia Britannica, Ini adalah penyakit akibat bakteri Yersinia pestis.
Penyakit ini ditularkan dari tikus ke manusia dengan perantara kutu. Sejarawan memberi tahu bagaimana wabah itu masuk, yakni ketika kapal-kapal mendarat di pelabuhan Italia, di dalam kapal itu ditemukan beberapa orang yang sudah mati dan sekarat.
Orang-orang Eropa terjangkiti wabah itu dengan sangat cepat dan wabah itu sangat menular dan juga mematikan. Wabah pertama berakhir sekitar tahun 1350, tetapi beberapa ratus tahun kemudian, terjadi lagi.
Kemudian wabah kembali menjangkiti Asia dan menyebar ke seluruh Eropa. Inggris Raya menyatakan bahwa London dilanda pertama kali pada tahun 1665. Inilah yang membuat black death menjadi sebuah pandemi.
Istilah "karantina" pun berasal dari masa penanganan black death. Pemerintah Eropa pada saat itu akan mengirim orang-orang yang sakit untuk tinggal di ladang, daerah terpencil, atau hanya membuat mereka tinggal di dalam rumah sampai kondisinya lebih baik. Bahkan, Alkitab dan hadis Nabi menyarankan agar mereka yang memiliki penyakit kusta untuk menjauh dari orang sehat agar tidak terkena kusta juga, dan sebaliknya. Langkah-langkah lainnya menyalakan api unggun untuk membersihkan udara, anjing liar ditangkapi, makanan tidak sehat dirazia dari pasar, kumpul-kumpul dilarang dan yang dianggap paling kontroversial saat itu adalah mengunci warga di rumah masing-masing.
Tesisnya di sini adalah perekonomian Indonesia sedang menurun akibat pandemi Corona dan new normal merupakan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah. Anti-tesisnya adalah new normal merupakan langkah yang tidak efektif untuk dilakukan saat ini sebab jika kasus Corona terus meningkat akan berpotensi menimbulkan gelombang kedua. Bahkan dapat menyebabkan tenaga medis akan kewalahan dan apabila mereka sudah tumbang tidak ada lagi garda terdepan. Otomatis keadaan chaos pun tercipta dari berbagai elemen masyarakat.
Belum lagi pemerintah kemarin sempat mengesahkan RUU minerba dan momentum tersebut akan digunakan untuk mengadakan aksi besar-besaran menuntut pemerintah. Konflik tersebut tidak bisa kita biarkan terjadi. Oleh karena itu sintesis yang saya tawarkan adalah agar PSBB tetap dilanjutkan dengan catatan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Sejatinya kita perlu belajar dari Italia dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru di tengah pandemi ini. Untuk dapat mempertahankan tren penurunan kasus ini, pejabat Italia mengusulkan pembentukan korps sukarelawan. Pasukan yang terdiri atas 60.000 asisten sipil ini akan mengingatkan warga dalam mematuhi protokol pencegahan virus corona.
Rencananya sukarelawan ini akan diisi oleh kalangan pensiunan dan pengangguran. Bahkan ketika black death datang lagi pada abad ke-17, munculah pekerjaan tidak lazim yang dilakukan oleh sebagian orang dengan harapan untuk menghentikan penyebaran penyakit.
Mulai dari the searchers (para pencari), yang biasanya dikerjakan oleh para wanita yang lebih tua. Mereka ditugaskan untuk mengunjungi banyak keluarga, memeriksa yang sudah mati dan yang sekarat, dan mendata siapa saja yang telah terinfeksi. Keluarga itu kemudian akan dikarantina di dalam rumah mereka, dan sebuah palang merah dicat di pintu untuk memperingatkan tetangga. Lalu ada watcher (para pengamat) yang memastikan setiap rumah yang sudah terinfeksi gak ada yang keluar rumah, gak ada yang boleh masuk, dan gak ada barang dari rumah tersebut yang boleh ke luar, untuk memastikan agar wabah tidak menyebar.
Lebih baik kita berikan pekerjaan kepada yang membutuhkan seperti masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini. Mereka yang nantinya ditugaskan untuk mengingatkan warga dan melakukan pengawasan protokol covid-19. Cukup efektif daripada mengerahkan sejumlah aparat untuk menjaga pusat keramaian yang tidak sesuai dengan proporsionalnya.
Jumlah personel yang dikerahkan untuk persiapan new normal sebanyak 340.000. Tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang lebih dari 250 juta penduduk. Semoga melalui tulisan ini dapat memberi manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H