"Iya ... iya. Jangan ngambek atuh, nanti ilang cantiknya" ucap ia dengan genit, bermaksud merayu istrinya. Tanpa mempedulikan rayuan suaminya, Si Iteung lanjut memarahi suaminya.
      "Ah, berisik! Sekarang udah mau siang nih hampir jam delapan. Nasi sudah matang, air hangat juga sudah siap. Tinggal cari lauk pauknya! Emang gak mau makan hari ini?"
      "Ah atuh tinggal beli aja ke warung sana."
      "Gak ada, udah pada abis."
      "Terus gimana we atuh?"
      "Ya atuh pergi kek ke kebun, ke sawah. Cari apa aja yang bisa dipasak. Cari-cari tutut dari pada gak makan sama sekali mah!"
      "Iya atuh, keun. Bentar lagi aa berangkat."
      "Cepetan ah, sekarang!" Sambil menarik sarung suaminya dengan maksud agar si suami segera bangkit dan segera pergi ke sawah.
      "Iya atuh kalem ih."
      Kabayan. Demikianlah nama suami Si Iteung itu. Hampir tiap hari bangunnya selalu kesiangan. Paling pagi bangun jam enam, itu pun jika siangnya ada kerjaan dan harus dibangunkan istrinya. Bila tidak ada kerjaan, mungkin ia kuat tidur hingga bangun menjelang magrib.
      Dengan mengenakan celana pendek selutut, kaos partai, peci legend di kepala, dan golok yang disisipkan dipinggangnya ia berangkat keluar rumah. "Masak tutut aja ya! Aa sekarang ke sawah." Ia berteriak dari pintu belakang dan segera bergegas menyusuri jalan setapak melewati kebun menuju ke sawah.