Mohon tunggu...
Ilyas Maulana
Ilyas Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Amatir

Fatum brutum amor fati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabayan Mencari "Tutut" [1]

4 Februari 2023   08:50 Diperbarui: 7 Februari 2023   23:23 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://sdnciwangi.blogspot.com/

            

          Sebagaimana kebiasaan masyarakat di pedesaan dengan siklus hidup yang sangat beraturan, semua terjadwal, sistematis, seolah ada jadwal kegiatan yang terpampang saban rumah. Menjelang fajar, ayam-ayam peliharaan warga sekitar sudah saling sahut, berkokok. Namun sebelumnya toa di masjid lebih dulu mengeluarkan suaranya. Azan awal, demikian orang-orang menamainya. Dilantunkan pada sekitar jam tiga pagi. Lalu ada tarhim, yang senantiasa dilantunkan  tiga puluh menit menjelang azan subuh.

            Udara yang segar, asri dan tentunya sangat menyehatkan membersamai warga yang beriringan menuju ke masjid untuk menunaikan solat subuh berjamaah. Suatu tradisi islami yang masih melekat pada warga pedesaan. Usai menunaikan salat subuh, para jemaah ada yang melanjutkan zikir, tadarus quran, adapun anak-anak (barudak) mereka mengaji sampai jam enam pagi.

            Hangatnya mentari mulai menjamah tiap-tiap sudut perkampungan. Tidak ada satu pun tempat yang terlewati. Cahayanya mulai mengintip dari sela-sela dinding rumah penduduk yang rata-rata terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sudah pasti rumahnya juga adalah rumah panggung. Ada satu rumah yang berbeda dari kebanyakan rumah lainnya. Bukan dari arsitekturnya, melainkan si penghuninya sendiri. Ia masih terlentang di atas ranjang, tak peduli meski hari sudah mnejelang siang.

            "Herrr.... her...." (suara dengkuran). Suara ini berasal dari kamar dekat ruang keluarga.

            "Hey! ....hey ...hey! Bangun!" Sambil mencepretkan lidi ke betis suaminya, Si Iteung berusaha membangunkannya.

            "Hadang di bawah, awas jangan sampe lepas!" Suaminya berkata demikian. Nampaknya ia sedang ngelindur. Entah sedang bermimpi apa dia.

            "Hah? Bicara apa kamu?" Si Iteung tambah kesal terhadap suaminya. Ia mengulangi membangunkan suaminya dengan cara yang tadi.

            Kali ini nampaknya suaminya itu akan terbangun. Tangannya bergerak-gerak seolah tidak ingin diganggu, lalu matanya terbuka dan ia pun duduk.

            "Ari kamu ku naon? Orang lagi mau nangkap peucang, jadi we kabur ah! Padahal dikit lagi ketangkep." Ia terbangun dengan hanya mengenakan celana kolor dengan sarungnya yang masih menggulung di tubuhnya.

            "Peucang, peucang we. Lagi mimpi itu mah!" ucap istrinya dengan nada yang tinggi. Nada yang melihatkan kekesalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun