[caption id="attachment_407013" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Pasukan ISIS berpawai di Raqqa, Suriah, pada awal bulan ini. (Kompas.com/AFP)"][/caption]
Sekarang ini BNPT sedang sibuk menangkapi orang-orang yang terduga ISIS. Sebenarnya, masalah terorisme jangan hanya ditanggulangi di ujungnya saja. Tetapi juga ada penelitian yang mendalam, mengapa seseorang mengikuti paham radikal.
Kalau dari beberapa pengamatan yang saya lakukan secara pribadi, ada beberapa tipe manusia yang rentan terjerat paham radikal. Tipe-tipe manusia ini yang perlu diperhatikan dari anak-anak hingga angkatan muda kerjanya, di antaranya bisa jadi dari:
1. Masyarakat miskin. Di Indonesia, harus dipetakan kantung-kantung kemiskinan dan kecenderungan pemahaman agama yang ada di daerah tersebut. Salah satu yang saya ingat, Lamongan misalnya. Ternyata Lamongan termasuk daerah dengan tingkat kemiskinan yang sangat parah lebih dari 50%. Daerah ini menjadi asal Amrozi sekeluarga (adik kakak sepupu tetangga menjadi teroris bom Bali), kemudian beberapa orang dari Lamongan juga ikut bergabung di ISIS. Begitu juga Malang (yang ditayangkan terus soal penangkapan anggota ISIS), tinggi sekali tingkat kemiskinannya, yaitu 300.000 dari 845.683 (35,5%) rakyatnya masih kategori miskin.
Untuk mengatasi masalah ini, tentu akar permasalahan berupa pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja yang harus diprioritaskan. Termasuk akses pendidikan setinggi-tingginya bagi masyarakat di sini.
2. Orang yang berlatar belakang pendidikan eksakta dengan pengetahuan agama yang minim. Beda orang yang kecenderungan eksakta dengan pola pikir ke arah seni atau kaya imajinasi (kreatif) dalam pendekatan agama. Orang eksakta, yang minim pengetahuan agama gampang sekali direkrut kelompok radikal, karena pandangan mereka yang cenderung hitam putih. Jadi istilahnya mudah dicuci otaknya (brainwash). Sementara pola pikir seni (kreatif) cenderung mempunyai pendekatan yang indah dan lembut terhadap sang Khaliq.
Lihat saja beberapa teroris kebanyakan latar belakangnya eksakta. Salah satu WNI yang lagi kuliah di Turki dan masuk ke Irak bergabung ISIS, adalah orang yang mengikuti Olimpiade Fisika Internasional.
Apakah pola pikir kreatif atau seni tidak bisa dilatih? Bisa, dikenalkan sejak kecil baik oleh keluarga maupun sekolah.
3. Orang yang berasal dari kelompok masyarakat yang cenderung homogen, satu suku semua, satu agama, satu pemahaman; jadi tidak beragam. Kelompok ini jika merantau sering mengalami shock culture, bingung, butuh pegangan. Bisa jadi pengukuhannya dengan cara direkrut oleh kelompok radikal. Beberapa mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berasal dari lingkungan sosial tertutup sering mengalami ini.
4. Orang yang teralienasi (terasingkan) dari sistem, merasa kosong dan hampa. Ini juga berpotensi direkrut oleh kelompok radikal dengan merekonstruksi pemaknaan hidup ke kepala orang-orang seperti ini.
5. Punya penyakit jiwa. Jadi secara psikologis, kadang kita tidak tahu bahwa orang-orang sekitar kita ternyata berpenyakit jiwa, tetapi penampilan luarnya biasa-biasa saja. Jika sudah penyakit jiwa, misalnya skizofrenia, bisa punya gejala waham, delusi atau keyakinan berlawanan dengan kenyataan.
Kemudian, gejalanya perasaan bersalah yang sangat berlebihan, kecemasan tingkat tinggi, meproyeksikan perasaan dasarnya dengan mencurigai. Gampang curiga banget, merasa tidak aman. Waham ini bisa berkembang menjadi kemarahan yang hebat, sakit hati yang mendalam, dan keinginan membalas yang membabi buta terhadap pihak yang dianggap 'lawan'. Kelompok radikal tentu sangat gampang merekrut orang seperti ini. Ehm, jangan-jangan mereka juga memiliki penyakit yang sama?
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H