Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengkritisi 'Kebocoran' Hatta Soal Impor?

1 Juli 2014   18:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:58 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini juga merupakan poin debat yang diutarakan oleh Hatta Rajasa mengenai impor yang dilakukan selama pemerintahannya. Aneh sekali, benarkah impor untuk warga asing? Itu alasan Hatta mengapa impor?

Kebetulan, pada tanggal 17 Juni 2014 saya ikutan diskusi di acara Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia). Acara ini membahas pengenaan pajak barang mewah (PPnBM) untuk telepon seluler (ponsel). Pada acara ini, selain saya, hadir juga perwakilan Kementerian Keuangan yang membicarakan alasan pengenaan pajak tersebut, juga hadir para pelaku usaha.

Ada yang menarik di acara tersebut. Data Mastel menyebutkan bahwa ada 250 juta ponsel yang digunakan di seluruh Indonesia. Jumlah yang sangat besar, bahkan lebih besar dari jumlah penduduk Indonesia, karena banyak yang memiliki ponsel lebih dari 1 per orangnya. Ponsel itu lebih dari 90%-nya murni impor dari luar negeri. Bayangkan berapa arus uang yang keluar dari Indonesia demi ponsel tersebut.

Untuk ponsel yang legal, dikenakan pajak 17,5%. Tetapi yang perlu diketahui, ternyata ada 40-70% ponsel yang beredar adalah black market (BM)! alias pasar gelap yang tidak membayar pajak! Ketika saya menyebutkan angka 70%, dengan entengnya perwakilan Kemenkeu itu bilang, bisa jadi 80% ponsel yang beredar berasal dari pasar gelap! Mengapa kemenkeu tidak 'mengejar' mereka untuk membayar pajak?

Jawab kemenkeu: oh itu bukan tugas saya mengawasi barang beredar, tetapi tugas Kementerian Perdagangan!

Sayang, Kementerian Perdagangan tidak hadir. Tetapi bukankah ada Kementrian Koordinasi Perekonomian yang seharusnya menyinergiskan setiap upaya di bidang perekonomian Indonesia? Perwakilan Kemenko yang datang terlambat sekali bilang, ok ini sebagai masukan.

Jelas, pasar gelap ponsel merugikan Indonesia dalam 2 hal: pertama karena tidak membayar pajak, sehingga negara dirugikan puluhan triliun (asumsikan sendiri 70% x 250 juta ponsel x rata-rata harga ponsel x 17,5% pajak). Ok deh, kalau memberantas mafia impor ponsel gak bisa langsung 70% yak, tetapi paling tidak ada upaya yang signifikan dilakukan, sehingga ada penurunan BM ini di Indonesia.

Kedua, menggerus kompetisi sehat dengan produk legal, terutama sekali menggempur produk lokal yang sedang tertatih-tatih hendak tumbuh. Bayangkan, industri lokal ponsel Indonesia persyaratannya harus dengan modal Rp 1 Triliun dulu (ini keluhan dari pengusaha langsung). Juga tidak ada insentif dari pemerintah dalam bentuk apa pun untuk mulai serius mengembangkan industri ponsel ini. Jangan bayangkan yang canggih-canggihnya. Bahkan untuk aksesoris pendukung yang remeh-temeh, Indonesia masih impor!

Sementara di China, usaha ponsel (bukan provider, tapi chasing dan aksesoris pendukung seperti charger) begini bisa dilakukan dengan skala rumahan. Bahkan China mewajibkan charger harus produk lokal. Kelihatannya sepele, hanya charger doank, tetapi liat donk skala konsumsinya di China, miliaran orang! Yang kecil-kecil diurusin, tetapi uang rakyat bisa berputar ke domestik, tidak lari ke luar negeri! Ya kalau pasar domestik Indonesia, ya 250 juta ini.

Jadi, dengan melihat BM di depan mata seperti diakui oleh Kemenkeu bisa mencapai 80% dari pasar ponsel, apakah kita bisa menyatakan bahwa eksistensi mereka yang tidak bayar pajak ini karena 'menyetor' sejumlah pelicin kepada oknum pengambil kebijakan, pengawas barang? Bahkan dari pintu masuk impor, juga Kemenkeu bilang 'sulit' mendeteksi. Padahal salah seorang narasumber menyatakan gampang sekali jika mau mengawasi. Yang penting mau atau tidak?

Pada acara diskusi ini, peran Kementerian Informasi juga dikritisi keras, karena sama dengan chasing ponsel, provider content atau internet pun tidak memiliki kantor di Indonesia. Baru Google, tetapi WA, FB, belum punya. Padahal mereka kan suka ngiklan juga. Tetapi lagi-lagi ya tidak bayar pajak, karena posisi tawar pemerintah untuk bisa bernegosiasi agar mereka bisa buka kantor di Indonesia sangat lemah. Malah cenderung cuek dan tidak mau tahu. Padahal potensi pemasukannya juga sangat besar.

Impor Beras, Daging, Cabe,  Bawang & Buah Segar

Ini soal ponsel. Belum lagi masalah impor hasil pertanian seperti beras, daging, sayur mayur. Apakah impor itu untuk asing? Ya enggak, la wong yang konsumsi orang Indonesia sendiri. Tetapi bayangkan berapa arus uang Indonesia yang keluar karena kebijakan impor yang instan, tanpa perhitungan yang matang ini?

Hatta sangat pro-impor? Ketika saya hadir rapat di Kemendag, ada 2 pola yang berlaku, sehingga impor sering dilakukan. Pertama, ketika produk pertanian sampai ke pasar induk, walau hasil berlimpah, tetapi jika momen tertentu seperti puasa, lebaran, natal di mana permintaan tinggi, di pasar induk ada mafia pengendali harga, mereka menyimpan stok sehingga harga naik.

Dan pemerintah, alih-alih membasmi mafia pengendali harga ini, untuk meredam kenaikan harga yang menjulang, solusinya adalah impor. Saya ingat ketika hadir di Kementan, Deputi Kementan cerita bagaimana misalnya keputusan impor daging beku dari Australia dilakukan dengan rapat secara instan antara Kemenko Perekonomian, Kementan, dan Kemendag.

Padahal data  peternakan (ketika itu sedang mendata satu persatu provinsi mengenai stok daging jadi, dan potensial atau masih jadi hewan ternaknya; saya heran kenapa baru sekarang? Tahun 2013), tidak terjadi kelangkaan daging. Impor daging beku dari Australia ini tidak sesuai dengan kondisi pasar tradisional yang tidak memiliki rantai dingin, dan dilakukan oleh Bulog yang tidak pernah punya pengalaman impor daging (sehingga tidak punya gudang), sehingga negara dirugikan ratusan miliar rupiah karena ribuan ton daging beku tidak terserap pasar.

Ini hanyalah salah dua contoh yang saya sebutkan. Belum lagi mengenai impor migas ya, karena Indonesia tidak menyiapkan infrastruktur kilang dan pemipaan gas secara serius untuk konversi BBM. Apakah ada fee terkait impor migas? Semoga KPK bisa melakukan investigasi....

Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun