Sajak, itulah nama yang diberikan oleh ayah dan ibuku. Namaku Sajak saja tidak ada terusannya. Tidak ada nama panjangnya. Nama lengkapku Sajak kalian mengerti kan? Aneh ya? Memang aku akui namaku ini aneh. Aku saja yang memiliki nama ini sempat merasa aneh dan tidak percaya diri di beberapa waktu karena nama ini.
Ohya, Onah itu adalah nama kawanku. Sahabatku. Temanku. Keluargaku. Terlalu banyak memang definisi Onah untuk hidupku. Tapi yang aku ingat kami mulai dekat setelah saling kenal sejak di bangku SMP dulu. Hingga saat ini. Buktinya sekarang aku dan Onah satu kampus. Meski berbeda jurusan. Onah di jurusan seni rupa sedangkan aku di jurusan Pendidikan Psikologi dan Bimbingan.
Kami berteman bisa cukup lama seperti ini tidak lepas dari banyaknya masalah ko. Masalah yang disebabkan oleh perbedaan diantara kami berdua tentunya. Tapi itulah Onah dan Sajak. Meski mudah berperang kamipun akan mudah berdamai. Tapi sejujurnya kisah yang sedang aku tulis ini bukan tentang aku dan Onah. Ini kisah tentang aku yang kembali dipertemukan dengan sosok yang lama aku rindu.
Tentang Sajak yang menemukan kalimat-kalimat menawan lalu tersusun menjadi bait-bait indah. Dan Sajak ini hanya untuk seorang laki-laki keren dan hebat yang akan kalian tahu siapa sosoknya sebentar lagi.
Angin sore itu lumayan kencang. Pepohonan sampai kehilangan dedaunan kering yang menguning berjatuhan ke atas tanah. Menjadikan halaman gedung-gedung kampus nampak berantakan. Lalu ada aku yang berjalan kelelahan setelah seharian mengikuti kelas. Lunglai berjalan. Malah diterpa angin sore yang kencang. Hingga membuat kertas-kertas bahan ajar kuliah yang aku dekap erat berterbangan lalu berserakan di atas tanah bersama dedaunan.
"Huuuh cobaan apa lagi ini?" aku mengutuk diri dalam hati.
Aku berlari meraih kertas-kerta itu dengan hati yang kesal. Kalo bukan kertas penting akan aku biarkan saja tukang sapu yang membersihkannya. Tapi aku harus mengambil semua kertas karena ini adalah kertas-kertas penting untuk kelangsungan kuliahku ke depannya. Aku berlarian mencoba mengambil kertas-kertas yang terus bergerak tersapu angin. Untungnya saja jalanan depan gedung-gedung kampus yang tinggi ini sedang sepi. Sehingga aku tidak usah merasa malu.
Hingga pada saat aku akan mengambil beberapa kertas terakhir yang ada di bawah pohon besar yang aku tidak tahu nama pohonnya apa. Nampak tangan seseorang lebih dulu mengambil kerta-kertas itu. Saat aku dan dia sama-sama berdiri kembali. Kemudian mata kami saling beradu. Satu hal yang pasti wajah ini bukanlah wajah asing bagiku. Ini adalah wajah yang selalu menjadi alasanku membuat sajak-sajak puisi saat SMA dulu.
"Ini kertasnya." katanya saat memberikan kertas-kertas kepadaku.
"Eh iya, makasih ya." ucapku. "Kamu Kresna kan?" aku meyakinkan bahwa sosok lelaki yang ada di depanku ini adalah Kresna. Laki-laki yang selalu menjadi alasanku membuat sajak-sajak puisi saat SMA dulu.
"Iya Sajak, aku Kresna."