Mohon tunggu...
Ni MadeSantiani
Ni MadeSantiani Mohon Tunggu... Buruh - Goresan pena

Perempuan yang menyukai fajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puisi | Surya untuk Rembulan

22 April 2020   00:32 Diperbarui: 22 April 2020   01:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surya mempercepat langkahnya dengan bibir yang membentuk garis lengkung,"Aku harus cepat pulang dan mengolah ayam ini, sebelum Rembulan pulang dari sekolah."
 
Hari ini dagangannya habis terjual. Terakhir di borong oleh Pak Mamat. Seorang pedagang toko kelontong, yang selalu memborong dangangannya. Jika sampai sore belum habis.

Surya mampir membeli jus alpukat, kesukaan Rembulan. "Terima kasih Gusti buat berkatMu hari ini," kata Surya dalam derap langkahnya. Sambil memikirkan bagaimana Tuhan memelihara hidup mereka selama ini. Hingga mereka tak pernah kekurangan.
Saat Surya menyebrang di zebra cross , yang letaknya tepat berada di dekat rambu lalu lintas. Tiba-tiba dari arah kanan ia mendengar suara sepeda motor yang melaju kencang memerobos.  Terlambat bagi Surya untuk mundur, karena seketika tubuhnya tersambar dan melayang, hingga terlempar ke badan trotoar.

"Rembulan... Ayam ...." jeritnya dengan lirih.

Beberapa orang tiba-tiba bergerombol di sekitarnya. Ada yang berusaha mengajaknya bicara, ada yang memeganga tangan dan kakinya. Yang ia tahu, tubuhnya diangkat serta di bawa entah kemana.

Rembulan ... Air mata menetes dari ujung mata Surya.

Tuhan tak pernah sedikitpun aku mengeluh akan keadaanku, meski ingin rasanya. Tak pernah sekalipun keluar dari mulutku rasa ketidak percayaanku pada kebesaran kuasaMu.

Rembulanku yang begitu mungil dan manis. Meski harus makan nasi dengan garam. Ia selalu tersenyum sambil berkata, "kakak, semoga besok jualannya rame ya, jadi bisa beli ayam dan jus alpukat." dan terus menikmati tiap butir nasi, seolah-olah itu makanan terlezat.

Rembulanku dengan jari kecilnya ia mengais botol-botol di tumpukkan sampah. Ketika seseorang melihat dan segera mengatakannya kepadaku. Terasa panas dada ini. Seolah ada bensin tertuang di hati, membakar seluruh tubuhku, hingga bergetar.

Alih-alih aku marah padaMu. Justru aku marah pada diriku, tidak bisa menjadi kakak yang baik buat Rembulan, hingga ia memulung.

Aku tidak pernah mengatakan Kau tidak adil. Itu sama saja mempertanyakan kenapa aku di lahirkan buta, tidak sempurna seperti yang lainya.

Sebuah pertanyaan yang tidak akan aku temukan jawabnya, sampai aku bertemu denganMU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun