Mohon tunggu...
Ilham Paulangi
Ilham Paulangi Mohon Tunggu... Konsultan - Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

menulis itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Semiotika Tempe

9 November 2018   18:00 Diperbarui: 10 November 2018   09:05 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus politik nasional beberapa hari terakhir ini dipenuhi dengan pertarungan simbolik serta pertarungan gagasan dan penafsiran.  Hal semacam ini sebenarnya lumrah dalam sebuah negara demokrasi, apalagi menjelang pemilihan umum. Disebit sebagai  tahun politik.

Hal yang menarik adalah pemilihan tanda atau aspek simbolik yang dibawa ke dalam arena diskursus. Sebut saja, salah satunya adalah "tempe". 

Memang agak aneh rasanya diskursus politik meributkan soal tempe. Tentang tipis tebalnya tempe. Sepintas seperti remeh temeh, dibanding dengan  isu-isu politik dan pembangunan lainnya.

Hal ini relatif menjadi jelas apabila kita mencoba melihat "tempe" tersebut dalam konteksnya sebagai tanda (sign). Sebagaimana pandangan pemikir strukturalis, Ferdinan de Saussure. Tempe tidak lain adalah petanda (siginifier) dan realitas yang direfresentasikan oleh tempe adalaj petanda (signified).

"Tempe", dalam diskursus politik akhir-akhir ini tidak lagi sekadar dimaknai dalam pengertian arbitrer dimana tempe diartikan sebagai makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Bukan sekedar itu.

Mengacu pada  konsep pemaknaan Roland Barthes,   tempe dalam diskursus politik akhir-akhir, bukan lagi berhenti pada makna tataran pertama, yakni tempe sebagai makanan. Tetapi tempe, dapat dikategorikan  pada makna tataran kedua, yakni sebagai aparatus politik dan ideologi yang berkaitan erat, secara signifikan, dengan  kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makna tataran kedua tersebut bisa dilihat saat salah seorang kontestan pemilu, calon Wapres Sandiaga Uno, mengatakan bahwa saat ini tempe sekarang tinggal setipis ATM. Makna yang bisa dipahami dalam petanda yang dimunculkan bukan lagi makna pada tataran pertama, bahwa tempe diiris tipis, lalu digoreng, dan dijual, rasanya enak, mengenyangkan, dsb. Bukan sekedar itu.

Makna yang dibaca oleh publik adalah makna tataran kedua, yaitu bahwa sekarang tempe diiris tipis, karena ekonomi lagi susah, harga-harga naik, dan berbahaya bagi negara kalau tak diatasi. Dan kira-kira yang bisa disimpulkan bahwa pemerintah yang ada saat ini kurang kompeten. Hal inilah yang memunculkan pertarungan tafsir, ditolak oleh pihak yang tak sekubu, antara pro dan kontra.

Lantaran publik menangkap makna tataran kedua disini, maka serta merta ditanggapi balik, serta dibantah dengan juga menggunakan makna tarataran kedua pula, dengan membangun argumentasi yang menujukkan realitas sebaliknya, bahwa ternyata ekonomi baik-baik saja, harga normal-normal saja, bahwa ternyata rakyat damai-damai saja. Setidaknya diperlihatkan itu diperlihatkan Presiden Jokowi saat naik motor ke pasar, memegang tempe, yang nyatanya masih terlihat tebal. 

Artinya ekonomi dalam keadaan stabil, negara aman. Kira-kira seperti itu makna tataran kedua pada  "tempe" bagi sebagian publik yang lain.

Dengan demikian,  semakin nampak disini bahwa tempe yang tadinya bermakna sebagai makanan, serta merta menjadi petanda politik. Tempe disini menjadi mahluk historis dan ideologis.

Realitas politik, historis dan ideologi yang secara laten direfresentasi oleh makanan tempe, tentu sangat jamak. Seperti kita tahu, terdapat ratusan juta rakyat Indonesia adalah pemakan tempe, dan sangat bergantung pada makanan ini. Kedua, tempe ini adalah berbahan baku kacang kedelai yang mayoritas diimpor dan sangat rawan dengan fluktuasi mata uang. Artinya sangat strategis secara ekonomi dan politik. Sehingga pengungkapan petanda "tempe" tak ayal lagi menjadi sangat diskursif.

Diskursus politik di negeri ini, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan akan diwarnai dengan pertarungan simbolik dan metafora, semacam  ini. Demi memperluas dan memperkaya diskursus, tentunya ini boleh-boleh saja, asal publik bisa memaknainya secara cerdas dan bijak.

Andi Ilham Paulangi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun