Mohon tunggu...
Ilham Paulangi
Ilham Paulangi Mohon Tunggu... Konsultan - Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

menulis itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Masih Sempatkah Merenung?

29 Agustus 2018   17:05 Diperbarui: 30 Agustus 2018   12:49 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut para ahli fenomena disrupsion, atau fenomena milenialisme, daur hidup segala sesuatu, menjadi lebih pendek. Belum sempat sebuah tulisan di baca, sudah terlewatkan, tertindis lagi tulisan yang lebih baru. Belum sempat kita menikmati sensasi teknologi baru, datang lagi teknologi yang terbaru. Dan masih banyak contoh lain yang bisa disebut.

Lalu, masih sempatkan kita merenungi hidup ini? Masih sempat kita menghitung-hitung berapa meter jalan  kita lalui setiap hari kita berjalan? Masih sempatkah kita mengingat dengan siapa kita berinteraksi setiap harinya? Belum sempat kita merenungi suatu masalah, datang lagi masalah baru. Seakan semua lewat begitu saja tanpa permisi. Semua begitu cepat.

Dangkalnya Intelektualisme?

Paham yang bersifat mainstream dalam dunia pemikiran, seakan menyatakan bahwa intelektualisme adalah hampir identik dengan pemikiran kritis. Bahkan kalangan intektual di masa lalu hampir identik dengan orang-orang kritis. 

Tak mengherankan saat ini banyak yang underestimate terhadap flatform internet, utamanya media sosial. Dianggap menyajikan informasi yang  tak kritis. Makanya,  tak heran kalau saat ini, ada sementara pihak yang menganggap bahwa milenialisme adalah dunia yang dangkal secara intelektual. Benarkah?

Komunikasi Makin Cair

Jurgen Habermas melihat bahwa dunia modern adalah dunia yang diskursif. Penuh perdebatan dan argumentasi. Lantaran semua hal bisa diproblematisasi atau ditematisasi oleh manusia modern. Sebabnya karena ruang kesepahaman semakin menyempit. 

Dia melihat bahwa dunia sebelumnya, katakanlah dunia sebelum dikuasai oleh kapitalisme, belum dikuasai aspek material, kehidupan masih ditentukan oleh kharisma, keadaban tradisional, komunikasi manusia masih sangat cair. Semua hal diandaikan begitu saja. Sederhananya, mereka tidak kritis, tidak diskursif,  tidak banyak pertentangan.

Sekarang ini, seakan kita balik ke dunia itu lagi, tapi dengan wajah dan rasa yang berbeda.  Dunia milenial adalah dunia kehidupan yang tak lagi kritis, tidak diskursif. Dunia kehidupan dulu  (jaman pra-modern),  dengan sekarang, seperti mengalami kemiripan, karena  sama-sama mengandaikan realitas begitu saja, tanpa ditematisasi dan tanpa diproblematisasi. 

Lalu.pertanyaannya, apakah benar ruang kesepahaman menjadi luas kembali? Apakah horizon kebersamaan benar-benar menjadi lebih leluasa? Sama seperti masa-masa keadaban tradisional lampau,   sebelum mengalami penyempitan di era modern. Seperti yang diklaim oleh para pemikir kritis?

Menarik sekali, hal ini  layak dijadikan sebagai sebuah diskurus intektual. 

Ruang Kesepahaman Digital

Patut diduga, bahwa ruang kesepahaman yang ada, boleh jadi memang mengalami perluasan. Penyebabnya, tidak persis sama dengan jaman lampau, tetapi penyebabnya lebih berbasis digital. 

Ruang kesepahaman menjadi luas, karena dunia digital menyiapkan berbagai informasi bagi setiap manusia untuk dapat saling memahami. Menyiapkan ruang yang tranfaran untuk memahami dunia tanpa distorsi. Tak ada hal yang tersembunyi di dunia digital. Dunia digital, seperti dengan segala macam sifat keterbukaannya seakan menjadi horizon kebersamaan dan kesepahaman yang sangat luas.

Dugaan  lain yang juga masuk akal adalah, bahwa perluasan kesepahaman masyarakat milenial, adalah  perubahan besar yang terjadi akibat pergeseran dari era informasi ke era data. Kekuasaan tak lagi dipengaruhi oleh akses informasi, tetapi siapa yang menguasai data.

Kekuasaan atas informasi mengandaikan kekuasaan yang vis a vis antara produsen dengan konsumen. Sementara era data tidak. Konsumen tidak menjadi korban dari kapitalisme secara langsung, tetapi justru mengambil keuntungan darinya tanpa mengurangi apapun dari konsumen. 

Sehingga tidak ada kepentingan bagi dunia kapitalisme untuk menahan dan menguasai informasi. Alih-alih membaginya dan disebarkan secara luas. Konsumen bukan lagi sebagai objek semata, tetapi lebih menjadi mitra kolaboratif.

 Dengan begitu, mungkin tak ada alasan menyatakan  bahwa dunia milenialisme  adalah dangkal secara intektual. Karena komunikasi jaman milenial sangat cair, pemikiran juga lebih mengalir. Tidak kritis tapi positif.

Masalah  kehidupan modern mengalami banyak kebuntuan dan tak  menemukan solusi. Masa milenial, justru menyediakan   lebih banyak dan lebih beragam solusi. Kuncinya,  dunia milenial cenderung tak kritis, tapi menciptakan solusi secara kolaboratif.

Andi Ilham Paulangi, alumni FIB Unhas, magister komunikasi politik Jayabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun