Menurut para ahli fenomena disrupsion, atau fenomena milenialisme, daur hidup segala sesuatu, menjadi lebih pendek. Belum sempat sebuah tulisan di baca, sudah terlewatkan, tertindis lagi tulisan yang lebih baru. Belum sempat kita menikmati sensasi teknologi baru, datang lagi teknologi yang terbaru. Dan masih banyak contoh lain yang bisa disebut.
Lalu, masih sempatkan kita merenungi hidup ini? Masih sempat kita menghitung-hitung berapa meter jalan  kita lalui setiap hari kita berjalan? Masih sempatkah kita mengingat dengan siapa kita berinteraksi setiap harinya? Belum sempat kita merenungi suatu masalah, datang lagi masalah baru. Seakan semua lewat begitu saja tanpa permisi. Semua begitu cepat.
Dangkalnya Intelektualisme?
Paham yang bersifat mainstream dalam dunia pemikiran, seakan menyatakan bahwa intelektualisme adalah hampir identik dengan pemikiran kritis. Bahkan kalangan intektual di masa lalu hampir identik dengan orang-orang kritis.Â
Tak mengherankan saat ini banyak yang underestimate terhadap flatform internet, utamanya media sosial. Dianggap menyajikan informasi yang  tak kritis. Makanya,  tak heran kalau saat ini, ada sementara pihak yang menganggap bahwa milenialisme adalah dunia yang dangkal secara intelektual. Benarkah?
Komunikasi Makin Cair
Jurgen Habermas melihat bahwa dunia modern adalah dunia yang diskursif. Penuh perdebatan dan argumentasi. Lantaran semua hal bisa diproblematisasi atau ditematisasi oleh manusia modern. Sebabnya karena ruang kesepahaman semakin menyempit.Â
Dia melihat bahwa dunia sebelumnya, katakanlah dunia sebelum dikuasai oleh kapitalisme, belum dikuasai aspek material, kehidupan masih ditentukan oleh kharisma, keadaban tradisional, komunikasi manusia masih sangat cair. Semua hal diandaikan begitu saja. Sederhananya, mereka tidak kritis, tidak diskursif, Â tidak banyak pertentangan.
Sekarang ini, seakan kita balik ke dunia itu lagi, tapi dengan wajah dan rasa yang berbeda.  Dunia milenial adalah dunia kehidupan yang tak lagi kritis, tidak diskursif. Dunia kehidupan dulu  (jaman pra-modern),  dengan sekarang, seperti mengalami kemiripan, karena  sama-sama mengandaikan realitas begitu saja, tanpa ditematisasi dan tanpa diproblematisasi.Â
Lalu.pertanyaannya, apakah benar ruang kesepahaman menjadi luas kembali? Apakah horizon kebersamaan benar-benar menjadi lebih leluasa? Sama seperti masa-masa keadaban tradisional lampau, Â sebelum mengalami penyempitan di era modern. Seperti yang diklaim oleh para pemikir kritis?
Menarik sekali, hal ini  layak dijadikan sebagai sebuah diskurus intektual.Â