Sebenarnya bukan diam, namun hanya berani menggerutu atau istilah kerennya "bisik-bisik tetangga" (maaf tante Elvi saya pinjem dulu judul Hits lagunya :D ). Karena apa.? nanti akan saya jelaskan dibawah.
Saya termasuk salah satu dari sekian banyak warga yang bisanya cuma "bisik-bisik tetangga" tentang persoalan salah satu Rumah Sakit yang diduga membuang limbah sembarangan dan tanpa proses standart Pengolahan Air Limbah seperti proyek yang beberapa waktu lalu sedang dikerjakan seorang kompasianer, yakni abangda Rahmad Agus Koto yang saya ketahui diwall facebooknya ketika itu.
Namun dibalik "bisik-bisik tetangga"nya saya, sekitar tahun 2008 (kalau tidak salah, karena yang saya ingat ketika itu saya baru saja jadi tukang becak) awal dimana saya mulai berseteru dengan pihak Rumah Sakit yang juga memiliki Yayasan yang berbasis Akademi Kebidanan di Simp. Limun Medan tersebut. Hingga berlanjut ditahun 2009 dan seingat saya pra pemilu, yang mana saya tidak mendapat kartu undangan memilih di TPS tempat saya tinggal sejak lajang hingga sudah mempunyai seoarang putri kala itu, namun disaat Pilpres saya menerima undangan memilih di TPS terdekat.
Kala itu lagi, ketika saya belum menjadi tukang becak mengendarai kereta(baca, sepeda motor) dan beriringan dengan Pak RW yang terkadang suka bersenda gurau dengan warganya yang sebaya dengan anaknya. Ketika melintasi jalan yang baru saja dibuat, tepat disamping Rumah Sakit yang berada di Jl. Jend. Sudirman kilometer dua Bagan Batu Kec. Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir-Riau. Ketika melintas, kami pun kecipratan air comberan yang keluar dari lubang pipa tepat ditembok Rumah Sakit tersebut, dengan gaya bicara pak RW yang rada becanda, beliau pun berpesan kepada ku untuk segera menegur atau lebih tepatnya menyampaikan kepada pimpinan Rumah Sakit untuk membereskan comberan yang melintang kejalanan, agar nantinya dibuat paret tradisional agar comberan tersebut tidak mengalir kejalan. Ketepetan air comberan tersebut bukan berasal dari septi tank, melainkan berasal dari tempat wudhu disamping Mushala dan jika bukan waktunya sholat biasanya hanya digunakan untuk mencuci peralatan pel para Cleaning Service.
Aksi pertama sukses, selang satu hari paret tradisional pun tercipta. Namun beberapa bulan kemudian (ini sudah jadi tukang becak) hal serupa saya temui kembali, seperti pesan pimpinan Rumah Sakit, jika hal itu terjadi lagi, silahkan disampaikan kepada salah satu orang kepercayaan pimpinan Rumah Sakit tersebut, biar langsung dieksekusi gitu lah maksudnya. Tapi apa yang terjadi, hingga berminggu-minggu tidak juga diperbaiki, saya pun menegur supir Truck Tangki yang biasanya menyedot limbah dari septitank untuk menyampaikan kepada yang bersangkutan yang pernah saya sampaikan perihal tersebut. Lagi-lagi tanpa eksekusi sebagaimana sebelumnya.
Ketika itu, darah muda yang masih segar ini pun kesulut emosi, tapi tidak dengan kekerasan tentunya, karena sudah pernah gara-gara kekerasan kena uang damai dan cabut perkara di Polsek, duh.! jadinya hanya dengan ide gila yang selintas hinggap dibenakku yakni, sumbat lubang pipa yang menghasilkan comberan itu dengan cor-coran semen yang didapat dari seorang tukang yang tak jauh sedang mengerjakan/merenovasi rumah. Satu kali, (mungkin) dilepas oleh karyawan Rumah Sakit, sambung ke jilid dua, hingga ketiga kalinya saya sedikit mengancam supir yang aslinya tidak tahu apa-apa, apalagi tidak punya wewenang, untuk tidak lagi parkir dijalan ketika menyedot limbah cair dari septi tank.
Tahu apa yang terjadi.? Jelas, saya dicari-cari RT, namun tidak pernah ketemu dikarenakan saya dulu suka pergi pagi pulang tengah malam(maklum, tukang becak yang banyak penggemarnya, huh..!!). Setelah beberapa waktu berjalan, suasana pun mencair dengan sendirinya, bahkan ketika ketemu pak RW dan pak RT respon mereka biasa-biasa saja, terlebih pak RW yang sendau guraunya kerap muncul.
Ditahun 2009, kalau tidak salah saat itu sekitar pukul 20.00 wib dan suasana sedang hujan rintik-rintik lumayan rame rintiknya, saya pun mendapat telpon dari seorang kawan yang rumahnya tak jauh dari lokasi Rumah Sakit tersebut, tepatnya sekitar belakang rumah sakit. Dengan gaya bicara yang meyakinkan seolah-olah aku ini fokus untuk mendengarkan apa yang disampaikannya, dan ternyata apa yang disampaikan kawanku itu tadi, yakni untuk melihat dan mencium aroma bau limbah yang mengalir melintasi selokan tradisional sepanjang jalan yang belum diaspal tersebut.
Penasaran dan tentunya senang, karena ini bisa menjadi senjata untuk balik ngemop kepada pihak Rumah Sakit yang ditahun sebelumnya menampakkan taringnya, bahwa perangkat desa bisa diaturnya untuk mengatur saya yang ketika itu punya aksi gila dengan menutup lubang pipa seperti yang saya tuliskan diatas.
Lengkap dengan jas hujan, orang yang punya aksi gila ini pun menghadap dan masuk keruangan pimpinan Rumah Sakit dan menegur apa yang barusan terjadi, sebelumnya saya coba intip dan mengendap-endap dari balik tembok pagar apa yang terjadi, indra pendengaran merasakan bunyi seperti suara mesin pompa air (mesin Robbin kalau kami bilang), tidak ketinggalan indra penciuman (hidung) yang lumayan mancung ini pun merasakan bau yang tak enak dihirup. Ketika itu, pimpinan Rumah Sakit seolah-olah tidak tahu tentang apa yang terjadi, dan mengelak tidak pernah memberi perintah kepada karyawannya untuk membuang limbah lewat mesin robin.
Biasa, buang badan. Tidak puas sampai disitu, saya pun menawarkan diri untuk kroscek ke areal belakang Rumah Sakit, dan dipersilahkan. Apa yang saya dapati.? Tentunya mesin Robbin yang tadinya hidup, sudah mati tanpa bekas dan hanya menyisakan genangan air di lapangan badmintaon yang sudah lama tidak difungsikan dan beberapa tumpukkan sampah. Saya kembali dan kembali beradu argumen dengan pimpinan Rumah Sakit yang saya dengar beliau bukan pimpinan utama, melainkan pimpinan kedua setelah saudaranya yang saat itu sedang gencar berkampanye untuk menjadi Legislator Kabupaten Rokan Hilir, komentarnya mutar-mutar, diawal tidak pernah memerintahkan karyawannya, disini menyatakan tidak otomatis membuang keluar tembok pagar, dan bla..bla..bla... Selain menyinggung soal limbah, saya pun coba menyinggung aksi gila yang berbuntut dicari-cari RT, beliau pun agak sedikit tersulut emosinya, namun tetap tanpa kekerasan.
Sejak kejadian itu, sepertinya mereka punya inisiatif dengan membuat drainase semi permanen disepanjang Jalan Mesjid Nuansa Indah tersebut. Dan sejak saat itulah truck tangki penyedot limbah cair mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya, namun tetap dijalankan untuk membuang limbah padat atau istilah kerennya, "sampah" ketempat pembuangan akhir yang kalau tidak salah didaerah perbatasan antar Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Utara.
Yang menjadi alasan ketika itu mengapa aksi protes, kritik ini saya lakukan, terutama soal limbah yang bau dan belakangan ini saya dengar cukup berbahaya bagi kesehatan, yaitu, ketika itu saya sudah mencoba buat pondasi rumah yang kini sudah saya tempati, lokasinya agak dekat jurangan, yang mana jurangan tersebut mengalir air limbah dari Rumah Sakit tersebut, juga tidak jauh dari lokasi sumur galian untuk keperluan rumah tangga tentunya.
Ya, seperti pertanyaan saya diawal paragraf, Karena apa.? atau lebih tepatnya karena apa warga sekitar diam atau pinjam judul lagunya tante Elvi, "bisik-bisik tetangga", ya seperti penjelasan saya diatas, bahkan tidak sekali dua kali saya coba diskusi tentang limbah Rumah Sakit dengan perangkat desa, malah malam kemarin saya coba lagi buka bicara dengan perangkat desa, ya gitu deh, bingung, disatu sisi Pimpinan Utama Rumah Sakit yang kini sudah masuk periode kedua menjabat sebagai Legislator, pintar mengambill hati, seperti sumbangan dana untuk pembangunan Mesjid, dan kegiatan sosial lainnya seperti santuanan anak yatim yang disertai Khitanan Massal dan lain sebagainya.
Beberapa malam ini, aksi gila saya sepertinya berlanjut, namun tetap dengan cara jauh dari kekerasan atau menyumbat lobang selokan yang keluar dari tembok pagar Rumah Sakit. Namun hanya mencoba membuat rilis berita yang dibuat untuk dikirimkan ke email-email redaksi media online/cetak khusus daerah Riau, walau tata bahasanya mungkin masih "jauh api dari panggangannya", Alhamdulillah sudah dapat respon dari wartawan media cetak yang ketepatan media beliau masih satu grup dengan Jawa Pos dan respon dari pihak beritariau.com melalui jurnalisnya, yang pada awalnya ditelpon oleh redaksinya, dikira jurnalisnya yang mengirim rilis berita.
Harapannya sih tidak muluk-muluk, bagaimana solusi terbaiknya, atau setidaknya kabar ini didengar pihak BAPEDALDA(Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah) Rokan Hilir yang saya coba mencari website resmi Bapedalda Rokan Hilir namun tidak ketemu, maklumlah, Lembaga-lembaga di Kabupaten kami memang begitu, untuk urusan informasi dan teknologi, sepertinya sengaja tak dibuat, seperti halaman website lembaga-lembaganya.
Semoga saja tidak ada lagi yang tutup mata dan tutup telinga, tapi yang dibutuhkan cuma tutup hidung, karena bukan tak elok dipandang mata, bukan tak enak didengar telinga, namun tak sodap dihirup hidung.
Salam Lingkungan Bersih Sekitar Rumah Sakit
Lubang Selokan RUmah Sakit yang jika keluar dari lubang ini, baunya sudah pasti tak sedap. (dok. Pribadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H