Mohon tunggu...
Ignatius D
Ignatius D Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Murid, Pelajar, dan Anak.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Semua Manusia Berhak Menyatakan Pendapat, Kecuali Jika Mengkritik Pejabat atau Perusahaan

17 Februari 2023   09:41 Diperbarui: 17 Februari 2023   09:52 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Carol Simpson, 1988)

Sebelum masa reformasi, Indonesia masih bisa dikira sebagai sebuah negara baru. Warga dan pemimpinnya baru saja meraih kemerdekaan dan mereka tidak ingin negara baru mereka dijajah lagi oleh negara atau ideologi yang tidak baik. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat sangat dibatasi. Untungnya, pada saat masuknya masa Reformasi, posisi Indonesia sebagai sebuah negara sudah cukup solid. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mulai membuat hukum-hukum dan legislasi yang lebih menghargai hak asasi manusia untuk bebas berpendapat.

Semua orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat. Meskipun itu, tentu saja hak ini harus diberi pembatasan agar tidak digunakan oleh orang jahat untuk mengakibatkan kerusuhan, kekerasan, atau kebencian. 

Pembatasan-pembatasan terhadap hak bebas berpendapat, seperti pada KUHP Pasal 317-319, sebenarnya cukup masuk akal. Hal-hal yang dibatasi antara lain adalah tuduhan palsu, pemberitahuan palsu, kebencian terhadap kelompok tertentu, dan ancaman kekerasan. Tapi pada Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008 (UU ITE), semua detil ini dihilangkan, dan dikategorikan dengan pernyataan ambigu "Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". 

Baik dengan sengaja atau tidak, definisi ambigu ini bisa digunakan oleh pejabat atau orang berprofil tinggi lain tidak hanya untuk menghukum penyebaran informasi palsu, tetapi juga mengkriminalisasikan laporan dari warga mengenai korupsi oleh pejabat, keluhan konsumer mengenai perusahaan, atau pemberitaan kritis dari media.

Kasus-Kasus Penyalahgunaan UU ITE

Salah satu korban pertama penyalahgunaan hukum cacat ini adalah Bersihar Lubis, seorang reporter asal Medan, yang divonis 1 bulan penjara atas pencemaran nama baik setelah dia menulis sebuah artikel opini di Koran Tempo yang mengkritik keputusan Jaksa Agung untuk melarang penyebaran sebuah buku sejarah SMA. 

Fifi Tanang, yang menulis surat pembaca yang dimuat di Warta Kota edisi 4 November 2006 mengenai bagaimana dia ditipu Rp.2,25 miliar oleh sebuah perusahaan perumahan, divonis 3 tahun kemudian pada 14 Mei 2009 dengan hukuman penjara 6 tahun dan masa pengamatan 1 tahun setelah dilaporkan oleh perusahaan yang menipunya. Khoe Seng Seng, dan Kwee Meng Luan juga menulis surat pembaca yang serupa dan melaporkan penipuan tersebut ke polisi. Mereka dihukum penjara 1 tahun. Sebelum dihukum mereka bertiga mengalami proses pengadilan yang berjalan selama kurang lebih 2 tahun, menguras keuangan mereka dan juga menghambat atau bahkan menghentikan kemampuan mereka untuk menjalankan usaha-usaha mereka.

Dua aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari mengkritik polisi karena mengivestigasi petugas KPK atas tuduhan palsu. Hal ini menyebabkan mereka ditahan oleh polisi untuk diinterogasi atas tuduhan pencemaran nama baik dari 9 bulan sebelumnya.

Mengapa Pasal 27 UU ITE Cacat

Pasal 27 UU ITE mengkategorikan semua "Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" sebagai tindakan kriminal. Definisi ambigu ini secara efektif membuat semua hak bebas berpendapat menjadi tidak berlaku. Dengan pasal ini, kritik, masukan, atau opini apapun bisa menjadi tindakan kriminal apabila seseorang menganggapnya mencemarkan nama baik mereka.

Hukum ini bisa digunakan oleh orang atau organisasi dengan kekuasaan atau uang untuk memenjarakan atau membangkrutkan orang yang berani mengkritik mereka atau melaporkan kesalahan mereka, baik dengan ancaman hukum maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp.1 miliar, maupun dengan proses pengadilan yang menghabiskan uang dan waktu korban. Hal ini bisa dilihat dari kasus Bersihar Lubis, Fifi Tanang, Khoe Seng Seng, dan Kwee Meng Luan, yang dihukum berat meskipun laporan yang mereka beri sepenuhnya faktual. 

Kemungkinan diberinya sanksi berat juga bisa digunakan untuk mengancam dan mengintimidasi orang yang berniat mengivestigasi, memberitakan, atau mengekspos orang-orang berkuasa yang melakukan tindakan kriminal. Konsekuensi dari ini adalah mendorongnya media untuk melakukan penyensoran diri karena takut akan ancaman hukuman pidana. Penahanan dan interogasi Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari atas dasar laporan pencemaran nama baik dari 9 bulan yang lalu sangat mencurigakan. Bisa disangka bahwa polisi berharap bisa menggunakan ancaman hukuman dari laporan itu untuk menghentikan kritisisme para aktivis tersebut terhadap polisi dengan cara intimidasi.

Apa yang Perlu Diubah?

Sudah jelas bahwa ketidakjelasan Pasal 27 UU ITE membuatnya rentan terhadap penyalahgunaan oleh orang dengan kekuasaan atau uang. Hukuman yang diberi tidak proposional dengan besarnya kesalahan dan ancaman terkena sanksi akibat hukum ini menghalangi hak asasi manusia untuk bebas berekspresi. Oleh karena itu yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah untuk menarik dan membuat amandemen baru terhadap Pasal 27 UU ITE yang langsung menangani masalah pasalnya sendiri. 

Yang perlu dilakukan adalah untuk mengubah syarat mendapatkan hukum pidana dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menjadi sesuatu yang lebih masuk akal seperti misalnya mengenai pernyataan, tuduhan, atau pemberitaan yang terbukti palsu. Dengan ini saya rasa penyalahgunaan hukum ini akan menurun drastis karena yang menuntut harus bisa memberi bukti konkret terhadap kepalsuan pernyataan, dan juga membuka diri mereka terhadap investigasi apabila tuduhan atau berita yang dilaporkan ternyata benar. Ini lebih bagus dibandingkan dengan syarat sebelumnya di mana satu-satunya syarat untuk diberinya hukum pidana adalah bahwa seseorang dicemar reputasinya.

Konklusi

Hak asasi manusia untuk bebas berpendapat adalah sesuatu yang sangat penting. Selain memberi martabat kepada orang, hak ini juga memberi sebuah bagian penting dari berjalan lancarnya sebuah demokrasi. Terkadang sebuah masalah tidak bisa ditangani secara internal, dan oleh karena itu orang perlu mengumpulkan kesadaran orang lain melalui protes. 

Tapi sayangnya, Pasal 27 UU ITE mengabaikan semua ini dengan mengkriminalisasi pencemaran nama baik sendiri tanpa memedulikan kebenaran pernyataan yang disebar ataupun hak asasi manusia orang yang memberi pernyataan tersebut. Ini memperbolehkan orang dengan banyak kekuasaan atau uang untuk mendiamkan semua kritik mereka dengan memenjarakan membangkrutkan mereka, dan bertentangan dengan konsep dasar demokrasi sendiri.

Solusinya tentu saja adalah untuk menghapus hukum cacat ini dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih masuk akal seperti melarang tuduhan atau pemberitaan yang bisa terbukti palsu. Dengan melakukan ini, pelanggaran HAM ini bisa tidak berulang lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun