Delegasi Indonesia untuk KAA II dipimpin oleh Soekarno dan beranggotakan D.N Aidit dan Karim D.P, berangkat menuju Algier, Algeria untuk menghadiri KAA II pada tanggal 23 Juni 1965. Ketika rombongan Indonesia melakukan Transit di Karachi, Pakistan, mereka mendapatkan kabar bahwa gedung yang akan digunakan untuk KAA II telah dibom dan pelakunya belum diketahui oleh otoritas Aljazair. Rombongan delegasi Indonesia pun tetap melanjutkan perjalanan menuju Kairo. Dimana ketika mereka sampai, Indonesia, Mesir, dan Pakistan membahas nasib KAA II dalam konferensi tingkat kecil. Mereka memutuskan bahwa pelaksanaan KAA II akan tetap berada di Aljazair, namun harus ditunda hingga 4 bulan yang akan datang.
Keterlibatan CIA akan pemboman lokasi pelaksanaan KAA II diungkapkan oleh Supeni Pudjobuntoro, salah satu anggota delegasi Indonesia dalam KAA II, dalam buku biografi nya “Supeni : Wanita Utusan Negara”. Dalam buku tersebut, Supeni menyatakan bahwa beliau dihubungi oleh Guy Pauker, seorang penasihat Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Guy sedang melakukan peninjauan terhadap gedung lokasi pelaksanaan KAA II dan kemudian berbincang ringan dengan Supeni. Peninjauan ini dianggap biasa, karena sebelumnya pada pelaksanaan KAA I di Bandung, tidak sedikit orang Amerika, terutama dari pihak pers, melakukan peninjauan untuk menjadi pemberitaan di negara asal. Namun, kejutan muncul dua jam kemudian, ketika bom meledak dilokasi pelaksanaan. Konspirasi ini menjadi tudingan kepada CIA dan Amerika Serikat dalam keterlibatannya dalam tindakan terorisme dan penggagalan KAA II di Aljazair.
Namun, pukulan telak terhadap pelaksanaan KAA II adalah Indonesia tidak lagi mampu untuk berantusias dalam pelaksanaan KAA kembali. 30 September 1965 adalah hari berdarah di Indonesia ketika para perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh segerombolan “petualang”, sebagaimana yang dikatakan oleh Soeharto, yaitu Gerakan 30 September. Peristiwa ini memicu periode instabilitas nasional Indonesia, dan berujung kepada tumbangnya kepresidenan Soekarno pada tahun 1966.
Referensi
Ahmed, M. (1955). BANDUNG CONFERENCE. Pakistan Horizon, 8(2), 362–366. http://www.jstor.org/stable/41392181
PARKER, J. (2006). Cold War II: The Eisenhower Administration, the Bandung Conference, and the Reperiodization of the Postwar Era. Diplomatic History, 30(5), 867–892. http://www.jstor.org/stable/24915050
SHIMAZU, N. (2014). Diplomacy As Theatre: Staging the Bandung Conference of 1955. Modern Asian Studies, 48(1), 225–252. http://www.jstor.org/stable/24494187
Burke, R. (2006). “The Compelling Dialogue of Freedom”: Human Rights at the Bandung Conference. Human Rights Quarterly, 28(4), 947–965. http://www.jstor.org/stable/20072773
Acharya, A. (2014). Who Are the Norm Makers? The Asian-African Conference in Bandung and the Evolution of Norms. Global Governance, 20(3), 405–417. http://www.jstor.org/stable/24526222
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H