Mohon tunggu...
Ilmu SejarahA
Ilmu SejarahA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Semarang

Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intrik KAA II: Irelevansi, Pecah Kongsi, dan Konspirasi

13 Juni 2023   22:45 Diperbarui: 13 Juni 2023   22:48 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak Dalam Gedung Dwi Warna Bandung (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Kedekatan Indonesia dan India menjadi salah satu alasan utama mengapa Konferensi Asia Afrika dapat terwujud. Keberhasilan akan bujukan dari Ali Sastroamidjojo kepada Jawaharlal Nehru mengenai urgensi konferensi ini, merupakan kunci penting untuk menggerakkan negara-negara Asia-Afrika untuk hadir. Nehru terbujuk dengan ide konferensi ini karena krisis pulau Quemoy antara Republik Rakyat Tiongkok dengan Amerika Serikat pada September 1954. Nehru menyadari bahwa diperlukannya suatu unjuk kekuasaan dari negara-negara Asia-Afrika dalam satu suara akan kedaulatan dan kemerdekaanya. Tujuan ini tercapai dengan ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat, mereda setelah Zhou Enlai menyampaikan niatan untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat dalam Konferensi Asia-Afrika. Namun, tidak lama kemudian, posisi India dalam memandang urgensi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme akan berkurang, karena adanya ketegangan di semua titik perbatasannya.

Ketegangan pertama yang dihadapi India adalah mantan rekan meraih kemerdekaanya sendiri. Partisi India dan Pakistan pada 1947 adalah partisi yang sangat berpengaruh hingga hari ini. Partisi ini dilandasi akibat perbedaan agama yang ada di Sub Benua India pada masa kekuasaan Britania Raya, dengan agama yang paling dominan adalah Hindu dan Islam. Pembagian ini menciptakan dua negara baru, yaitu Pakistan yang mayoritasnya beragama Islam, dan India yang mayoritasnya beragama Hindu. Konflik pertama diantara dua negara baru ini adalah Krisis Kashmir pada 22 Oktober 1947, 2 bulan setelah kedua negara ini meraih kemerdekaanya, sengketa akan wilayah Jammu dan Kashmir, menjadi konflik bersenjata pertama diantara Pakistan dan India. Ketegangan diantara kedua negara mantan jajahan British Raj ini, akan berlanjut hingga hari ini.

Ketegangan kedua datang dari tetangga India yang berada di perbatasan utaranya. Setelah aneksasi RRT terhadap Tibet diformalisasi pada 23 Mei 1951, India memiliki tetangga baru di wilayah utaranya. Sengketa wilayah pun tak dapat dihindarkan, terutama pada wilayah Assam dan Aksai Chin. Sengketa ini menjadi berlarut-larut, dan bahkan pada persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika, India menyayangkan keputusan Indonesia untuk mengundang delegasi RRT. Hubungan antara Nehru dan Zhou Enlai sangatlah dingin ketika konferensi dilaksanakan. Konflik antar kedua negara ini meletus pada tahun 1962, ketika kontak bersenjata meletus di wilayah yang disengketakan. India mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, dengan kondisi status quo ante bellum, atau kembali kepada status wilayah sebelum perang. Kekalahan ini mendorong India untuk melakukan modernisasi dalam bidang militernya.

Pecah kongsi antara India dan Indonesia dapat ditekankan kepada dua faktor, yaitu perbedaan pandangan akan kolonialisme dan imperialisme dan perbedaan pandangan mengenai komunisme. India berfokus kepada pembentukan gerakan netral antara negara yang tidak menginginkan untuk mengikuti blok barat dan blok timur dalam ketegangan Perang Dingin. Hal ini dibuktikan ketika India, dibawah Nehru, bersama dengan Mesir dibawah Nasser, dan Yugoslavia dibawah Tito, Ghana dibawah Nkrumah, dan Indonesia dibawah Soekarno, menjadi negara-negara pionir pembentuk Gerakan Non Blok.

Namun, Indonesia dibawah Soekarno, masih sangatlah gencar akan kampanye nya dalam melawan yang Soekarno sebut sebagai Nekolim, atau neo kolonialisme dan imperialisme. Wajar, karena Indonesia harus menghadapi sisa kolonialisme Belanda di wilayah Irian Barat, yang kemudian terwujud sebagai Operasi Trikora. Kegencaran Soekarno akan Nekolim menjadi lebih ambisius, dengan melancarkan Operasi Dwikora, operasi yang dirancang untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaya. Indonesia dibawah Soekarno, juga memiliki kedekatan dengan RRT dimulai dari tahun 1950, menjadi negara pertama yang memiliki hubungan diplomatik resmi dengan RRT. Hal ini didorong juga karena kedekatan PKI dengan Partai Komunis Cina.

Pecah kongsi antar India dan Indonesia, meletus bersamaan dengan pecahnya Perang India-Pakistan kedua pada tahun 1965. Perebutan Kashmir menjadi pemicu konflik kembali. Namun kali ini, Indonesia tidak lagi berdiri sendiri atau berdampingan dengan India, namun berpaling dengan Pakistan. Ironisnya adalah, ketiga negara tersebut merupakan ketiga negara pionir Konferensi Asia Afrika sepuluh tahun lalu. Atas asas kesamaan mayoritas kepercayaan penduduknya, Indonesia mengirimkan “pasukan perdamaian” kepada Pakistan berupa kapal selam, batalion marinir, dan beberapa alutista angkatan udara. Latihan bersama antar kedua negara ini pun dilaksanakan di dekat perairan perbatasan India dengan Pakistan. Keberpihakan Indonesia dibawah Soekarno ini, merusak hubungan diplomatik India dengan Indonesia, dan berpengaruh dengan penyelenggaraan konferensi Asia-Afrika berikutnya.

Awan Gelap Menghantui KAA

Konferensi Asia-Afrika bukanlah suatu konferensi yang mudah untuk diselenggarakan. Dari awal perumusannya, konferensi ini menghadapi banyak ancaman dari pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan kondisi politik regional tersebut berbeda dengan mereka. Amerika Serikat berupaya untuk menggagalkan KAA I dengan berbagai cara. Mulai dari upaya pembunuhan terhadap Zhou Enlai dengan meledakkan pesawatnya atau bahkan meracuni nya. Kedua upaya tersebut gagal. Upaya paling besar oleh Amerika Serikat dalam menggagalkan KAA I adalah pembentukan South East Asia Treaty Organization atau SEATO pada tanggal 23 Februari 1955. SEATO beranggotakan Filipina, Thailand, Pakistan, Britania Raya, Australia dan Republik Prancis. Namun, kegagalan yang diolesi dengan penghinaan terhadap kekuatan barat adalah Filipina, Thailand, dan Pakistan memutuskan untuk menghadiri KAA I di Bandung 3 bulan setelah SEATO dibentuk.

Namun, upaya penggagalan pertemuan negara Asia-Afrika tidak akan berhenti pada tahun 1965. Dalam rangka peringatan sepuluh tahun KAA I di Bandung, konferensi kedua pun dirapatkan dan direncanakan pada tanggal 10-15 April 1964 di Jakarta. Delegasi dari India mengusulkan bahwa penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika kedua, harus dilaksanakan di Afrika, mengingat Asia telah dipakai sebagai lokasi konferensi pertama. Namun, selubung dari usulan India tersebut adalah, karena konflik yang memanas antar India dengan Pakistan dan RRT, dan perpecahan kongsi dengan Indonesia, penyelenggaraan konferensi kedua di Afrika diharapkan akan meminimalisir peran negara-negara yang sedang berseteru atau tidak sepaham dengan India. Aljazair kemudian terpilih sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika Kedua pada Juli 1964.

Persiapan dalam penyelenggaraan KAA II pun dipegang seluruhnya oleh Aljazair, dibawah kepresidenan Ahmed Ben Bella. Ben Bella merupakan salah satu pejuang dari Front Pembebasan Algeria atau FLN yang menjadi presiden pertama Algeria pada tanggal 15 September 1963, setelah Aljazair mendapatkan kemerdekaan dari Prancis. Namun, Ben Bella mendapatkan banyak tantangan dalam kekuasaannya, dikarenakan mendapatkan oposisi dari berbagai pihak, termasuk para ulama, karena kebijakan puritan Islamnya diniliai hanya untuk menenangkan masa, dan front sosialis Algeria. Instabilitas politik dalam negeri Algeria menyebabkan KAA II harus diundur, dari 10 Maret 1965 menjadi 25 Juni 1965. Namun sialnya, pada tanggal 19 Juni 1965, kurang dari seminggu sebelum pelaksanaan KAA II, Ben Bella dikudeta oleh salah satu menteri nya sendiri, Houari Boumédiène.

Dikudeta nya Ben Bella menjadi suatu polemik bagi pemerintah Indonesia dalam merespon KAA II, antara tetap menghadiri atau memboikot konferensi tersebut. polemik ini muncul karena kecurigaan Indonesia akan peran CIA dalam penggulingan Ben Bella. Namun, kesediaan Boumédiène untuk melanjutkan persiapan KAA II, ditambah dengan pernyataan dari Dubes Indonesia untuk Algeria, Asa Bafagih, bernilai positif, Soekarno memutuskan untuk tetap hadir dalam KAA II di Aljazair. Indonesia menjadi negara kedua setelah Suriah dalam mengakui pemerintahan Boumédiène.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun