Budaya sibuk ini lambat laun tapi pasti, mulai merusak apa yang menjadi tradisi dan menurunkan kualitas hidup masing-masing individu.Â
Mudah lelah, stress, dan merasa seperti selalu dikejar-kejar sesuatu, menjadi makanan yang harus ditelan suka tidak suka.Â
Budaya sibuk yang baru menampakkan diri lima tahun belakangan, telah sukses melemahkan budaya-budaya kita yang lebih budi, seperti salim kepada orang tua, sarapan atau makan malam bersama di meja makan, gotong royong, dan bahkan saling sapa dengan senyum pun mulai dilupakan oleh kita generasi saat ini.Â
Semua semata karena tuntutan untuk memenuhi kewajiban pekerjaan, sebatas demi mencapai target yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan diri kita.Â
Target-target itu hanya akan menguntungkan pribadi yang duduk di kursi nyaman, dengan ruang ber-AC, dan berada di puncak gedung. Mereka dapat emas, kita dapat pasir.
Di atas semua itu, kita memang tidak dapat menghindar untuk menjadi sibuk. Apapun pekerjaan dan status kita, di manapun dan kapanpun, pasti akan dilanda kesibukan dalam menjalaninya.Â
Namun, di tengah-tengah kesibukan yang melanda, sebisa mungkin sempatkan untuk melakukan hal-hal yang kita suka. Bertemu dan mengobrol dengan teman, makan makanan yang disuka, jalan-jalan.Â
Manjakan diri kita dengan sesuatu yang membantu kita dapat lebih rileks dan berhenti sebentar mengambil napas. Karena sunset, tidak akan pernah terjadi dua kali dalam sehari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H