Di masa yang serba modern seperti sekarang ini, 'sibuk' telah menjadi bagian yang menyatu pada diri masing-masing individu. Ia seakan-akan menjadi sebuah simbol dalam setiap bagian hidup yang mengisyaratkan bahwa kita memfokuskan apa yang ada di depan, sehingga melupakan apa yang ada di belakang bahkan di sekeliling kita saat ini.Â
Banyaknya beban tanggung jawab, tugas, hingga pekerjaan yang harus dipenuhi secara tidak sadar membuat kita tenggelam dalam danau kesibukan yang tidak berdasar.Â
Yang seiring: dengan berjalannya waktu, menjauhkan kita dengan hal-hal hangat yang seharusnya dapat kita nikmati.
Namun, sejauh ini memang tidak dapat dipungkiri, jika menjadi sibuk merupakan salah satu cara yang dapat membuat kita melupakan sesuatu, yang sekiranya berat untuk diingat-ingat kembali, bahkan tidak sedikit orang yang memilih untuk menjadi sibuk semata-mata untuk melenyapkan kesedihan yang sedang dialami.Â
Normal pula apabila kita berasumsi, bahwa semakin sibuk diri kita, maka semakin besar pula dampak yang akan kita hasilkan. Entah itu untuk diri sendiri maupun orang lain.Â
Akan tetapi, lama kelamaan hal inilah yang membuat orang-orang menjadi terobsesi untuk menjadi sibuk dengan dalih ingin merubah keadaan yang dialami saat ini.Â
Tetapi fakta yang ada, justru menunjukkan bahwa menjadi sibuk malah menjauhkan kita dengan sahabat maupun keluarga, ia justru mendekatkan kita dengan orang-orang yang sebenarnya hanya bersifat sementara dalam hidup.
Menurut Ellyn Casali (2022) dalam karyanya yang berjudul, "Disrupting Hustle Culture: An Explorative Research Project Addressing the Question, "What does It Mean to be Productive?", menjelaskan bahwa budaya sibuk dapat mengarahkan seseorang untuk hidup dalam lingkungan toxic.Â
Bahkan organisasi dunia seperti WHO (World Health Organization), telah mengklasifikasikan dampak dari budaya sibuk, yang disebut dengan burnout, sebagai fenomena yang tidak bisa mengapresiasi hasil pekerjaan yang telah dilakukan (Wilkie, 2019).Â
Hal ini tentu bukan sesuatu yang baik mengingat tubuh manusia memiliki batasan baik jasmani dan rohani. Tubuh kita membutuhkan waktu untuk istirahat dan menghabiskan waktu dengan orang-orang dekat, sekadar hanya untuk bercerita atau melakukan sesuatu yang menjadi hobi.
Budaya sibuk ini lambat laun tapi pasti, mulai merusak apa yang menjadi tradisi dan menurunkan kualitas hidup masing-masing individu.Â
Mudah lelah, stress, dan merasa seperti selalu dikejar-kejar sesuatu, menjadi makanan yang harus ditelan suka tidak suka.Â
Budaya sibuk yang baru menampakkan diri lima tahun belakangan, telah sukses melemahkan budaya-budaya kita yang lebih budi, seperti salim kepada orang tua, sarapan atau makan malam bersama di meja makan, gotong royong, dan bahkan saling sapa dengan senyum pun mulai dilupakan oleh kita generasi saat ini.Â
Semua semata karena tuntutan untuk memenuhi kewajiban pekerjaan, sebatas demi mencapai target yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan diri kita.Â
Target-target itu hanya akan menguntungkan pribadi yang duduk di kursi nyaman, dengan ruang ber-AC, dan berada di puncak gedung. Mereka dapat emas, kita dapat pasir.
Di atas semua itu, kita memang tidak dapat menghindar untuk menjadi sibuk. Apapun pekerjaan dan status kita, di manapun dan kapanpun, pasti akan dilanda kesibukan dalam menjalaninya.Â
Namun, di tengah-tengah kesibukan yang melanda, sebisa mungkin sempatkan untuk melakukan hal-hal yang kita suka. Bertemu dan mengobrol dengan teman, makan makanan yang disuka, jalan-jalan.Â
Manjakan diri kita dengan sesuatu yang membantu kita dapat lebih rileks dan berhenti sebentar mengambil napas. Karena sunset, tidak akan pernah terjadi dua kali dalam sehari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H