Hitam
Di sebuah sekolah dasar di pinggir kota, suasana istirahat selalu menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Di antara mereka, ada empat sahabat: Fina, Riri, Siti, dan Rafi. Mereka selalu berkumpul di bawah pohon besar di halaman sekolah, tempat favorit mereka untuk duduk dan berbincang.
Hari itu, mereka sedang membicarakan warna-warna favorit mereka, topik yang sudah sering muncul dalam percakapan mereka. Seperti biasa, Fina yang ceria memulai.
"Aku suka warna biru," katanya sambil menatap langit yang cerah. "Biru itu tenang, seperti langit dan laut. Kalau melihat biru, rasanya semua masalah hilang."
Riri, yang selalu penuh energi, langsung menyambung. "Kalau aku, warna kuning! Kuning itu cerah, menyenangkan, dan membuatku bahagia. Sama seperti sinar matahari yang selalu menghangatkan kita."
Siti, yang dikenal paling tenang di antara mereka, ikut berbicara. "Aku suka warna hijau. Hijau itu segar, seperti hutan dan rumput yang selalu hidup. Rasanya seperti selalu ada harapan dan kehidupan baru."
Ketiga sahabat itu kemudian memandang Rafi, yang duduk diam sambil menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kecil. Mereka menunggu dengan antusias, karena Rafi jarang berbicara panjang lebar. Namun, ketika dia berbicara, kata-katanya selalu menarik perhatian.
"Kamu, Rafi? Warna apa yang kamu suka?" tanya Fina dengan mata berbinar.
Rafi mengangkat wajahnya dari tanah, dan dengan senyum tipis dia menjawab, "Aku suka warna hitam."
Ketiga temannya saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung. Fina mengerutkan dahi, Riri menatap Rafi dengan alis terangkat, dan Siti menundukkan kepala seakan merenung.