Sejatinya pada zaman digital seperti sekarang ini, media sosial memiliki andil besar terhadap kehidupan sehari - hari kita sebagai manusia. Powell mendefinisikan media sosial sebagai sebuah komunitas yang terhubung melalui persahabatan, nilai-nilai, hubungan dan pekerjaan (Powell, 2009). Tidak heran media sosial kerapkali dijadikan sebagai media penghubung manusia dalam berkomunikasi.
Banyak platfrom jejaring sosial yang tersedia kala ini seperti Instagram, WhatsApp, Twitter, Facebook, bahkan TikTok. Semua platfrom menyediakan akses bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain, tidak hanya dengan berbicara lewat telepon ataupun bertukar pesan lewat chat, namun sekarang kita juga dibebaskan untuk mengekspresikan diri kita melalui media yang tersedia.
Tak jarang kita temukan orang-orang yang mengomunikasikan kesehariannya lewat status di media sosialnya, baik itu tentang bagaimana harinya, apa yang dilakukannya, bahkan sampai pada perasaan yang dirasakannya, secara tidak langsung media sosial membantu seseorang untuk mencapai kepopularitasan, seperti contoh banyak kita jumpai influencer, selebgram di era media sosial seperti sekarang ini.
Media sosial menyebabkan hidup manusia menjadi lebih transparan, sehingga semua kehidupan manusia dapat dilacak dan direkam dengan mudah. Namun dibalik kemudahan yang ditawarkan, media sosial memiliki sisi yang negatif. Seperti yang sering kita lihat dan dengar belakangan ini yaitu tren cancel culture sedang merabak dibanyak situs media.
Koentjoro selaku tenaga pendidik di Universitas Gadjah Mada dalam wawancaranya bersama CNN Indonesia berpendapat bahwa cancel culture sama dengan boikot. Publik figur ataupun orang yang memiliki pengaruh bisa tiba-tiba di-cancel atau ditolak karena dianggap tak lagi sejalan dengan keinginan masyarakat, biasanya cancel culture digaungkan melalui media sosial, twitter bahkan bisa berupa petisi.
Dilangsir dari Jurnal First Monday, volume 26, nomor 7- (5 Juli 2021) menyatakan bahwa cancel culture sebagai peristiwa ketika suatu organisasi menyosor, memecat, atau mendorong selebritas atau rakyat jelata untuk mengundurkan diri setelah melanggar norma sosial, adat istiadat, dan melakukan hal yang tabu.
Dapat dikatakan bahwa cancel culture merupakan sebuah budaya menolak atau memboikot akses seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap sebuah aturan, agar tidak dapat lagi muncul ataupun mendapatkan eksistensi untuk tampil pada media online ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Budaya pemboikotan ini secara garis besar menghalangi atau membatasi orang-orang dalam menjalankan aktivitas yang dinilai melanggar aturan masyarakat sehingga orang-orang yang melanggar akan mendapatkan sanksi.
Budaya pemboikotan atau cancel culture tentu tidak asing lagi di telinga kita, terutama di dunia entertain. Contoh kasus yang sudah umum kita dengar, yaitu terkait pemboikotan terhadap para idol diKorea Selatan. Pemboikotan disebabkan lantaran sang idol melakukan suatu hal yang dinilai salah atau tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Cancel culture ini tentu tidak lepas dari peran media sosial yang menyebabkan masyarakat dengan mudah menyiarkan berita skandal yang berakibat terjadinya pemboikotan oleh masyarakat terhadap sang idol, sehingga tak jarang para idol mendapatkan pembatalan kontrak kerja, larangan tampil di media, dan juga mendapat sanksi sosial dari masyarakat.
Tak hanya itu, kasus pemboikotan juga baru-baru ini dialami oleh salah satu aktris ibukota lantaran kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukannya. Dia diboikot dari media dan dilarang untuk tampil di stasiun televisi manapun. Peran media sosial yang menyebabkan mudahnya berita terkait kasus ini menyebarluas hingga diketahui khalayak ramai, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk meng-cancel sang aktris dari dunia entertain tanah air.
Cancel culture bisa disebabkan oleh banyak hal, bisa saja seseorang di-cancel karena melakukan kesalahan dalam bersosial media sehingga memunculkan sebuah kontroversi, sehingga masyarakat tak segan-segan untuk memboikot hal-hal yang dianggapnya salah.