Mohon tunggu...
Ilma Susi
Ilma Susi Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Religious Calling Versi Moderasi Beragama, Upaya Pengebirian Terhadap Islam

10 Oktober 2023   20:53 Diperbarui: 10 Oktober 2023   21:01 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpres yang paling gress hari ini adalah Perpres no 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Perpres yang dikeluarkan pada 25 September 2023 sebagai penguatan moderasi beragama. Pasalnya,  moderasi beragama sebagai program yang dicanangkan Kabinet Jokowi ini dikhawatirkan bakal terhenti seiring dengan berakhirnya masa kekuasaan di tahun 2024 mendatang.(Republika, 03/10/23).

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Prof. Ahmad Zainul Hamdi menyeru semua pihak untuk menjadikan moderasi beragama bukan terhenti sebatas program. Ia meminta,  untuk menjadikan moderasi beragama sebagai panggilan jiwa dan religious calling.

Berawal dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Pew Research Center di kawasan Asia Tenggara dengan temuan 64 persen masyarakat muslim di Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara.   (Detik, 13-9-2023).  

Hasil survei ini cukup membuat gelisah para pejuang moderasi, karena bertentangan dengan tolok ukur keberhasilan program  ini,  yakni tingginya penerimaan umat beragama dan penghayat kepercayaan terhadap nilai luhur bangsa Indonesia yakni Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Tingginya angka persetujuan pada penerapan syariat islam ini juga dianggap  sebagai ancaman bagi toleransi umat beragama,  mengingat  penerapan syariat Islam diasumsikan identik dengan pengabaian  kelompok agama  selain islam. Alhasil  Perpres 58/2023 akan menjadi legalitas bagi kontinuitas pengarusan ide moderasi beragama.

Jalan Panjang Moderasi Beragama

Moderasi beragama berakar dari  gerakan islamofobia di negara Barat. Pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan islamofobia menulis sebuah artikel berjudul "Rand Corporation and Fixing Islam". 

Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam telah berhasil diterjemahkan oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard.  Benard, menyebut misi ini dengan istilah religious building, sebuah upaya untuk membangun agama Islam alternatif.

Sebelumnya,  Benard yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada pemerintah AS. Ia memaparkan konsepnya itu dalam buku berjudul _"Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies."_

Musuh Islam menyadari bahwa ajaran islam yang murni akan menjadi penghambat bagi nonmuslim untuk mengendalikan umat Islam. Menghambat perampasan sumber daya, tanah atau kekayaan mereka. Karenanya mereka ingin mengubah Islam dengan memasukkan konsep-konsep Barat seperti demokrasi, HAM, gender, dan sebagainya. Bila upaya ini berhasil, dengan mudah mereka menguasai pemikiran umat islam dan mengendalikannya.

Sejatinya Amerika yang membenci Islam ini ragu, apakah kaum muslimin di seluruh dunia bisa menerima "Islam ala Rand" ini. Karena itu, Rand Corp menyatakan bahwa dalam program ini tangan Amerika harus tersamarkan. Strategi AS untuk mewujudkan rancangan tersebut terangkum dalam buku "Building Moderate Muslim Network".

Mitra yang ideal untuk menjalankan proyek ini adalah muslim dari  komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika. Direkrutlah tokoh-tokoh muslim yang memiliki keinginan memodernkan dan mereformasi Islam sesuai perubahan zaman. Ide ini, lantas dikenal sebagai Islam moderat.

Dalam perkembangannya, penyebaran ide Islam moderat tidaklah mulus. Dakwah mereka mendapatkan penentangan dari sebagian kaum muslimin yang mengetahui apa dibalik strategi licik AS. Karenanya program ini  dikemas seolah merupakan program negara untuk seluruh umat beragama dengan nama moderasi beragama. Sunnguh jemasan racun berbungkus madu.

Moderasi beragama memang diemban oleh penguasa, bahkan  masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Moderasi beragama juga menjadi amanah bagi Menteri Agama. Karena itulah Kemenaggiat mengaruskan program bahkan menjadi salah satu prioritas Kemenag tahun 2021, (Kemenag, 01/05/21).

Moderasi Beragama Gagal?

Keluarnya Perpres 58/2023, memberikan gambaran bahwa pelaksanaan moderasi beragama tak selancar sebagaimana diharapkan. Moderasi tidak bisa menjadi religious calling atau panggilan semangat keagamaan bagi muslim. Hal ini karena ruh dari moderasi beragama adalah pluralisme beragama dan sekularisasi, suatu hal yang ditentang oleh sebagian besar umat Islam.

Secara praktis, ide ini digencarkan secara massif pasca kekalahan Ahok dalam Pilkada Jakarta. Tuduhan penggunaan politik identitas saat itu terus digaungkan, disertai berbagai tuduhan bahwa umat Islam radikal berada di balik kemenangan Anies Baswedan.

Saat ini, menjelang tahun politik 2024, ada kekhawatiran serupa dari pihak yang dulu mendukung Ahok. Moderasi beragama yang telah digulirkan, tampak tidak mampu meredam apa yang mereka sebut sebagai politik identitas. Maka keluarnya Perpres 58/2023 merupakan upaya untuk mengatasi berbagai gejolak di masyarakat yang tak kelar dilakukan dengan program moderasi beragama.

Pasca keluarnya Perpres ini, sangat mungkin jadi kita disuguhi berbagai kebijakan moderasi yang akan mencegah umat untuk menggunakan agama dalam politik, dan menjauhkan politik dari praktik keberagamaan.

Meniscayakan Sekularisasi

Perpres 58/2023 dengan indikator keberhasilan program  komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan ramah terhadap budaya menggambarkan nilai-nilai sekularisme yang kuat. Komitmen kebangsaan mengharuskan untuk  meninggalkan komitmen beragama, yakni keterikatan kita kepada hukum-hukum Allah.

Toleransi diukur dengan tingginya sikap menghargai perbedaan, yang diarahkan pada pluralisme, yakni merelatifkan kebenaran semua agama, termasuk Islam. Padahal seorang muslim wajib terikat dengan hukum-hukum agamanya dan menjadikan agama sebagai standar bagi pemikiran dan perbuatannya.  Karena itu seorang muslim tulen tidak akan bisa menjadi seorang sekuler. 

Sebaliknya, sekularisme tidak mungkin bisa merasuk dalam dirinya. Namun, moderasi dengan indikator dan kebijakan-kebijakannya, meniscayakan muslim memahami agamanya dengan cara yang ditetapkan oleh penguasa, bukan dengan cara yang ditetapkan agamanya.

Bagaimana Merealisasikan Islam Sebagai Religious Calling?

Religius adalah suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama serta sebagai cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.  Karenanya, religious calling_ adalah panggilan agama, yaitu panggilan yang merasuk dalam hati seseorang untuk beriman dan tunduk patuh kepada penciptanya. Hakekatnya,  religious calling berarti panggilan Allah untuk menjalankan seluruh syariat-Nya.

Sementara itu, ide moderasi, hakikatnya adalah sekularisasi Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, dan sebagian muamalah mereka terima namun mereka menolak pemikiran dan hukum Islam yang bersifat politis. Hukum  seperti sistem pemerintahan, jihad, sistem sanksi, dan peradilan, serta sistem ekonomi, mereka menolaknya. Padahal, Allah telah memerintahkan pada umat Islam untuk beragama secara menyeluruh sebagaimana firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu". [QS Al-Baqarah: 208]

Dengan demikian, moderasi ini menyimpangkan umat dari religious calling-nya.  Ajaran Islam dikebiri sehingga tidak mampu menjadi solusi bagi problema kehidupan. Umat yang jumlahnya melimpah laksana  sekadar buih di lautan, terapung mengikuti haluan Barat. Umat  menjadi lemah dan rela dikendalikan, dijarah kekayaannya, dan dimandulkan potensinya.

Bila kita ingin memenuhi religious calling secara sempurna maka  Islam musti diterapkan sebagai sebuah sistem. Kita membutuhkan adanya kepemimpinan yang mampu mengemban tanggung jawab penerapan Islam. Kepemimpinan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya serta disepakati oleh para ulama  di setiap masa mereka yaitu kepemimpinan Khilafah Islamiyah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun