Berada dalam kubangan sistem demokrasi sekuler yang rusak, sebaik-baiknya orang, bakal banyak peluang yang menggoda. Demokrasi ibaratnya lingkaran setan, senada ungkapan Mahfud MD, "Malaikat masuk sistem pun bisa menjadi iblis." Hal ini ia ungkap lantaran banyaknya kecurangan dan politik transaksional yang didominasi  kepentingan kaum kapitatal yang membiayai proses politik para pejabat. Politisi butuh modal, kapitalis butuh kebijakan yang memuluskan kepentingan mereka. Dengan pola menjabat  seperti ini, bagaimana bisa jujur dan amanah?
Bila RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini resmi menjadi UU, masih perlu dipertanyakan  keampuhannya untuk memberantas korupsi secara tuntas.  Ada banyak pintu yang dapat dilewati oleh para tikus berdasi  meringankan hukuman, tersebab sistem hukum saat ini tidak tegas sementara pengawasan negara terhadap pejabat  lemah.
Berantas Korupsi dengan Tuntas, Mengapa Tidak?
Islam sebagai sistem hidup yang bersumber dari Allah, dzat pencipta manusia. Islam memiliki aturan yang lengkap dalam menata kehidupan manusia. Baik kehidepan pribadi, Â bermasyarakat maupaun bernegara. Islam memiliki seperangkat peraturan yang berfungsi untuk preventif dan kuratif, termasuk dalam mengatasi kasus korupsi.
Fungsi preventif sistem Islam dilakukan dengan langkah berikut: Pertama, penanaman akidah yang kokoh bagi setiap individu.  Pembentukan akidah ini dilakukan secara berkesinambungan melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sekolah  akan meluluskan individu-individu dengan iman dan ketakwaan yang tinggi. Iman dan ketakwaan pada level inilah yang akan mencegah seseorang untuk berbuat maksiat.
Kedua, penerapan sistem sosial berdasarkan syariat secara menyeluruh. Dengan penerapan ini, berlangsung pembiasaan masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat tidak cuek bila ada warga yang bertindak maksiyat, sebagaimana individu menjaga diri dari kemaksiatan. Jika ditemui warga  yang terindikasi berbuat kriminal- termasuk korupsi - masyarakat dengan enteng akan melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring tegaknya hukum Islam.
Ketiga, negara hatus mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan  untuk menggendutkan kantong pribadinya.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. rutin melakukan audit terhadap  kekayaan pejabatnya dengan mencocokkan harta kepemilikan sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan harta yang tak wajar, mereka diminta membuktikan bahwa harta  yang mereka dapat bukanlah hasil kecurngan atau hal haram lainnya. Bahkan, khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi diketahui jika hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan oleh negara.
Dalam sistem Islam, terdapat lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat,  yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara.
Dalam fungsi kuratif ada dalan penegakan sanksi hukum Islam  Hal ini nerupakan langkah akhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa)  Sebagai jawabir Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia sesuai dengan hukum Islam.
Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Orwng  yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Sangsi bagi koruptor adalah sanksi takzir, yakni khalifah yang berwenang menetapkannya. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.