Mohon tunggu...
Ilma Susi
Ilma Susi Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gurita Korupsi, Efektifkah Dicegah dengan UU Perampasan Aset?

13 April 2023   04:36 Diperbarui: 13 April 2023   04:38 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan membuat RUU Perampasan Aset Tindak Pidana kembali menjadi pembahasan. Hal itu terjadi setelah Menko Polhukam Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR untuk kembali membahasnya perubahan RUU tema ini..

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengaku menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, kehadiran RUU ini diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa dilakukan lebih cepat dan lebih baik.

Di sisi lain,  Bambang Pacul selaku Ketua Komisi III DPR Menanggapi permintaan Mahfud MD dengan pandangan lain. Ia mengatakan pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tergantung pada "bos" partai. Menurutnya, semua anggota DPR patuh dan nurut sama ketum partainya sehingga tidak bisa mengambil keputusan sendiri perihal pengesahan RUU tersebut.

Sebenarnya NKRI telah turut menandatangani Konvensi PBB Melawan Korupsi.  Guna meratifikasi konvensi PBB ini lantas lahir  UU 7/2006. Namun, hingga kini, negeri ini belum memiliki aturan yang kuat terkait perampasan aset. Pada praktiknya, perampasan aset harus dilakukan dilakukan melalui putusan pengadilan. Perranyaanya, benarkah upaya pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bakal merubah budaya korupsi yang unumnya telah menggurita dan membudaya?

Telah  Membudaya

Merujuk pada statemen  Mahfud MD beberapa waktu lalu, "Menoleh ke mana saja ada korupsi," mengindikasikan bahwa  korupsi di lembaga pemerintahan telah membudaya dan  kian menggila. Cukup segar dalam ingatan saat, KPK mencekal ke luar negeri terhadap 10 tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja pegawai di Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2020 -- 2022. TlKasus paling gress, Bupati Kapuas, Kalteng, Ben Brahim S. Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni. Mereka ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran yanga seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara.  Diduga pula mereka terlibat kasus  suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pasangan suami istri tersebut diduga menerima uang sebesar Rp8,7 miliar.

Lembaga KPK telah lama ada. Namun mengapa budaya korupsi di negeri ini tetap sulit diberantas?    Perbuaran tercela korupsi yang membudaya ini muncul karena beberapa faktor berikut:

Pertama, maharnya mahar politik Lazim diketahui bila politik dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Bila ingin mendaftar sebagai kontestan pemilu, baik kursi presiden, kepala daerah atau anggota legislatif membutuhkan modal yang cukup untuk kemahalan tersebut. Makin tinggi jabatan yang hendak diraih, kian besar pula ongkos politiknya. Keteka azas manfaat menjadi fokus bagi pandangan hidup, maka saat  menjabat, merupakan saat mengembalikan modal. Cara tercepat untuk balik modal adalah dengan korupsi. Ukuran halal atau haram kosong dari pertimbangan. Semuanya demi cuan kembali tergenggam.

Kedua, gaya hidup hedonis dan konsumtif di kalangan keluarga pejabat. Perilaku flexing keluarga pejabat yang belakangan viral, cukup mengkonfirmasi adanya indikasi gaya hidup hedonis dan konsumtif  telah membudaya. Layaknya seakan seseorang tak pantas  dikatakan pejabat bila tidak hidup mewah dan serba glamor.

Bisa jadi hari ini tak ada pejabat yang hidup sederhana jauh dari kemewahan. Umumnya mereka berpola hidup glamor. Sebut saja mantan pejabat Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo yang saat ini menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi. Kasusnya terungkap setelah  gaya hidup mewah yang dipertontonkan anak istrinya di media sosial. Pejabat dengan gaji  tidak sebanding dengan aneka barang mewah yang dimilikinya.. KPK pun menciduknya

Ketiga, hilangnya sikap amanah dan  jujur pada diri pejabat yang hidup dalam kubangan  sistem sekuler kapitalisme.  Sekularisme tidak menjadikan iman dan takwa sebagai perisai diri bagi pejabat negeri. Lingkaran sistem sekuler  tidak menjadikan agama  sebagai dasar dan pedoman dalam berbuat, membuat mereka mudah terjebak dengan arus yang sudah rusak  sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun