Berdasarkan data yang dirilis Worldtop20.org, peringkat pendidikan Indonesia pada 2023 berada di urutan 67 dari 203 negara. Rendahnya peringkat pendidikan tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pemahaman literasi dan numerasi. Berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor literasi Indonesia memiliki nilai rata-rata sebesar 359 poin, dan skor numerasi atau matematika Indonesia sebesar 366 poin, yang mencerminkan tantangan serius dalam kualitas pendidikan di Indonesia.
Nilai ini merupakan representasi bahwa banyak siswa masih kesulitan untuk menguasai keterampilan dasar membaca dan matematika yang merupakan pondasi penting untuk pembelajaran lanjutan. Rendahnya minat baca tidak terlepas dari budaya membaca dan motivasi diri serta terbatasnya akses perpustakaan.
Selain itu, kesenjangan akses teknologi digital di berbagai daerah juga menjadi penghambat dalam mencapai kesetaraan pendidikan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kesenjangan ini melalui transformasi digital, seperti dengan mengaplikasikan blended-learning, memberikan akses pembelajaran melalui Learning Management System (LMS), menyediakan akses internet di pelosok negeri, serta mendirikan lab komputer di sekolah-sekolah yang tidak hanya ada di perkotaan tetapi juga di desa-desa.
Namun, tantangan infrastruktur teknologi ini masih dirasakan terutama di daerah-daerah terpencil, sehingga masih ada kesenjangan akses pendidikan yang harus diatasi.
Tantangan dalam penyelesaian pendidikan menengah
Indikator lainnya adalah tamatan pendidikan dasar dan menengah yang dapat dilihat dari survei tingkat penyelesaian pendidikan. Target yang diharapkan pemerintah adalah rata-rata lama sekolah penduduk lebih dari 15 tahun.
Dalam konteks kelulusan, persentase siswa yang berhasil menyelesaikan pendidikan menunjukkan perkembangan yang baik di jenjang Sekolah Dasar (SD), dengan sekitar 97,83% siswa tamat, dan 90,44% di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Namun, tantangan besar masih ada di Sekolah Menengah Atas (SMA), di mana tingkat kelulusan hanya mencapai 66,79%. Faktor-faktor seperti kesulitan biaya, jarak, motivasi siswa, dan preferensi antara bekerja atau melanjutkan pendidikan tinggi mempengaruhi tingginya angka putus sekolah di tingkat ini.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk belajar serta menyelesaikan pendidikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya